Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cisanti, Menerangi Peradaban Pulau Jawa

Kompas.com - 23/04/2011, 13:18 WIB

Perambahan     

Pasang surut peradaban juga pernah mendera Cisanti, pasca reformasi. Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Lestari Tarumajaya, Agus Darajat mengisahkan, kawasan petak 73 seluas 265 hektar di hulu Cisanti dirambah 334 kepala keluarga petani. Aktivitas itu berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2003. Komoditas yang ditanam adalah kentang, kubis, atau wortel. Di daerah kaki Gunung Wayang ini tanahnya subur sehingga satu hektar lahan bisa menghasilan 15-20 ton kentang per sekali panen. Jika harga kentang Rp 5.000 saja per kg, berarti sudah Rp 100 juta, modalnya hanya Rp 50 juta-an.

Selain itu perambahan juga terkait kepemilikan tanah yang sempit akibat tekanan penduduk. Di Kecamatan Kertasari, menurut Dede Jauhari, seorang penggerak Masyarakat Peduli Sumber Daya Alam setempat, dihuni 70.000 penduduk atau 12 ribu kepala keluarga yang hampir seluruhnya berusaha tani.

Padahal tanah milik yang kini dijadikan lahan pertanian sayur mayur hanya 700 hektar saja.  Selain itu ada lahan 1.150 hektar eks perkebunan kina yang kini sudah disulap menjadi lahan sayur oleh 1.250 petani. Lahan itu terletak di Desa Cikembang, 600 hektar, Tarumajaya, 170 hektar, Sukapura 200 hektar dan Cibeureum 1.500 hektar.

“Tanah itu sudah 13 tahun digarap petani dengan cara menyewa. Satu petani rata-rata menggarap 0,5 hektar dan 1 petani rata-rata memiliki 4 buruh tani,” ujar Agus. Kabarnya pihak perkebunan juga terus memproses perpanjangan HGU, namun Agus, bisa memprediksi harus kemana lagi petani juga harus terusir dari lahan itu.

Akibat perambahan hutan di sekitar Situ Cisanti, lekukan gunung yang melingkari danau tersebut hanya terlihat warna kecoklatan dan kadang hitam karena digunakan sebagai lahan pertanian. Karena merupakan daerah hulu, apa yang menimpa pasti lebih parah lagi peristiwanya di hilir. Malah tujuh mata air sebagian sempat tidak mengeluarkan air. Akibat paling parah adalah air danau yang menyusut dan kemudian terlihat seperti rawa-rawa karena tertimbun tanah dari atas yang tergerus air hujan.

Agus Deradjat mengungkapkan, komitmen bersama dari masyarakat untuk mengembalikan hijaunya Situ Cisanti memegang peranan paling penting. Buktinya setelah 334 KK petani tersebut tidak menggarap kawasan itu lagi sejak 2003, debit air Cisanti agak stabil. Namun sebagian besar kawasan berlereng terjal di sekitarnya masih dipenuhi lahan pertanian semusim yang tidak memperhatikan kaidah konservasi.

Pada awalnya kawasan itu gundul, lalu inisiatif masyarakat Citarum Bergetar (bersih, geulis, lestari) tahun 2000-2003 bergiat menyadarkan dan melakukan pendekatan kepada petani. Mereka akhirnya mau turun, namun tetap menggarap dengan menanami kopi. Mereka tidak lagi menaman sayur yang menyumbang laju erosi  cukup tinggi terhadap sungai.

Tujuh mata air

Situ Cisanti bersumber dari tujuh mata air, masing-masing bernama Pangsiraman, Cikolebere, Cikawadukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung dan Cisanti. Setiap mata air, menurut mitos, memiliki kesaktian. Di mata air Pangsiraman, misalnya, selalu menjadi tempat mandi bagi mereka yang ingin mencari jodoh, jabatan atau kekayaan. Bagi yang ingin mendapatkan ketenangan bathin bisa bermandi di mata air Cikahuripan, sedangkan untuk memperoleh kesaktian mandi di mata air Cikawadukan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com