Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Kearifan Lokal Tergerus Zaman

Kompas.com - 23/04/2011, 03:41 WIB

Oleh Dedi Muhtadi

Di sekitar Situ Cisanti, tempat pertama kali sungai purba Citarum mengalirkan air dari kawasan hutan Gunung Wayang, Bandung Selatan, terdapat beragam mitos yang diungkapkan sejumlah juru kunci. Namun, titah leluhur Priangan, Jawa Barat, terkait dengan pelestarian alam itu kini tinggal cerita. 

Oman (58), seorang juru kunci yang turun-temurun tinggal di sana, mengungkapkan, dulu pamali (tabu) orang masuk hutan Gunung Wayang. Larangan ini sudah dipatok oleh karuhun (leluhur). Siapa saja yang berani masuk, apalagi beritikad buruk, bakal tersesat dan terkena mamala (musibah). ”Pernah ada orang masuk dan menebang pohon di Gunung Wayang, pulangnya meninggal,” ujar Oman.

”Dulu hutan ini angker, siapa saja yang masuk ke hutan ini sering kasarung (tersesat). Dia terus berputar-putar di sekitar hutan dan tidak bisa pulang,” timpal Ma Abu (75), juru kunci lainnya, menguatkan.

Makna dari ketabuan itu sebenarnya adalah agar hutan di kawasan itu tidak rusak dijamah oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Namun, warga sekarang sudah tidak lagi memerhatikan ketabuan. ”Sekarang zamannya sudah lain,” kata Oman menambahkan, seraya menunjuk ribuan petani masuk ke areal hutan dan menyulapnya menjadi lahan pertanian semusim, seperti sayur-mayur.

Padahal, penggunaan mitos atau kepercayaan masyarakat setempat untuk mengeramatkan sebuah tempat masih efektif sebagai upaya melestarikan alam di sekitar tempat tersebut. Bahkan, cara itu bisa berdampingan dengan institusi formal yang sudah ada, seperti undang-undang, termasuk aparat penegak hukum.

”Itulah sebabnya, banyak komunitas adat yang dulu sering menggelar ritual adat di sebuah lokasi bertujuan agar menimbulkan kesan angker atau harus diperlakukan dengan hati-hati oleh masyarakat biasa,” kata Dadan Madani, tokoh pemuda dari Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, beberapa waktu lalu.

Generasi keenam dari kuncen atau penjaga Gunung Wayang, Ujang Suhanda, menambahkan, institusi formal seperti undang-undang disertai aparatnya sebenarnya bisa berjalan bersama dengan institusi budaya.

”Masyarakat masih percaya ada peraturan tersendiri ketika memasuki kawasan yang dianggap angker. Peraturan tersebut bisa berupa pantangan ataupun kewajiban yang harus dilakukan sebelum beraktivitas,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com