”Ledakan populasi terkait ulah manusia,” kata peneliti serangga (entomolog) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosichon Ubaidillah, ketika dihubungi di Bogor, Jumat (15/4). Yang terjadi selama ini, aktivitas manusia cenderung mengganggu keseimbangan ekosistem.
Berkurangnya populasi burung predator, semut, kepik, kelelawar, lebah pemangsa, dan parasitoid dikaitkan dengan perburuan, penggunaan pestisida berlebihan, kerusakan kawasan karst, hingga cuaca ekstrem. Ahli serangga LIPI, Hari Sutrisno, bahkan mengaitkan ledakan populasi ulat bulu di Probolinggo, Jawa Timur dengan kerusakan hutan dataran rendah yang berujung pada migrasi ke permukiman warga.
Oleh karena itu, perubahan perilaku manusia agar lebih ramah lingkungan yang ditunjang dengan penegakan hukum atas pelanggaran perundangan akan sangat bermanfaat.
Ulat bulu dari famili Lymantriidae tergolong jenis pemakan semua daun (fitofagus), terutama mangga-manggaan. Penemuan ulat bulu yang berkembang biak di jenis pohon lain bisa dipahami, termasuk inang cemara atau pisang.
”Tergantung induk betina meletakkan telurnya di mana. Secara instingtif kalau tak ada pohon mangga-manggaan, bisa ke pohon lain,” kata Rosichon. Warga diminta waspada, tetapi diharap tidak khawatir berlebihan.
Ulat bulu tidak bersifat mematikan, baik bagi manusia maupun tanaman inang yang diserang. Namun, bagi banyak orang menimbulkan kengerian.
Gejala umum secara fisik menimbulkan alergi berupa gatal-gatal pada sebagian orang. Pada tanaman, menimbulkan kerusakan sementara.
Untuk mencegah alergi, warga bisa menghindari kontak langsung dengan ulat bulu. Kalaupun telanjur gatal, disarankan segera mencuci bagian badan yang alergi, mengoleskan minyak tawon/kayu putih, atau mengoleskan bawang merah. ”Mudah saja sebenarnya,” kata Rosichon.