”Tingginya intensitas perburuan hingga penggunaan pestisida menyebabkan burung sulit berkembang biak dan mati,” kata ornitolog (ahli burung) dari Universitas Padjadjaran Bandung, Johan Iskandar, Minggu (10/4) di Bandung.
Johan mengatakan, secara umum populasi berbagai macam burung di Pulau Jawa, termasuk burung pemakan serangga dan ulat, jauh berkurang. ”Curah hujan tinggi dan udara lembab adalah waktu yang tepat bagi ulat untuk berkembang biak. Di sisi lain, populasi burung semakin berkurang,” katanya.
Salah satu burung pemakan serangga dan ulat adalah ciblek (Trinia familiaris). Di beberapa daerah, burung ini sudah jarang ditemui karena diburu dengan alasan pembawa keberuntungan. Bahkan, di Jawa Barat burung ini diperkirakan sudah punah.
Burung lain yang biasa ditemukan di lahan basah dan populasinya semakin berkurang adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis). Johan mengatakan, burung pemakan wereng dan ulat ini dulu banyak ditemukan di vegetasi sungai dan sawah.
Asep (34), warga Kampung Rancabayawak, Kelurahan Cisaranten Kidul, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung, mengatakan, sangat terbantu dengan keberadaan kuntul kerbau. Keberadaan ratusan kuntul kerbau yang bersarang di rumpun bambu di Kampung Rancabayawak membuat sawah bebas hama serangga dan ulat.
”Kuntul biasanya mencari serangga di siang hingga sore hari. Kami tidak perlu membeli pestisida untuk membunuh serangga dan ulat,” katanya.
Meski pihak Kementerian Pertanian menyatakan ulat bulu yang menyerang sejumlah daerah di Jawa tidak menimbulkan gatal, hal itu tetap dapat muncul pada penderita alergi. Bagi orang yang tidak alergi, rasa gatal juga dapat muncul akibat sugesti karena rasa jijik melihat ulat bulu dalam jumlah banyak.
”Orang yang sensitif, penderita biduran, maupun alergi kulit akan mudah terserang gatal-gatal,” kata dokter spesialis kulit dan kelamin Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata, Cibubur, Jakarta, Dewi Inong Irana, Sabtu (9/4).