Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keseimbangan Ekosistem Terusik

Kompas.com - 09/04/2011, 03:26 WIB

Ichwan Susanto

Dua pekan terakhir, ulat bulu meneror ribuan warga, mulai dari Banyuwangi, Probolinggo, Jombang, hingga Pasuruan di Jawa Timur. Bahkan, serangan ulat bulu juga dilaporkan terjadi di Kendal, Jawa Tengah, dan Bekasi, Jawa Barat. Kepastian penyebab utama kini masih diteliti.

Berkurangnya musuh alami ditengarai menjadi salah satu penyebab. Burung predator ditangkapi, serangga parasit mati karena pestisida, diikuti cuaca ekstrem. Semuanya memicu ledakan populasi ulat. Bahkan, banyak ulat masuk ke rumah-rumah warga.

Peneliti ekologi serangga dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Warsito, belum berani menyimpulkan penyebab kejadian itu secara pasti. Hal itu karena penelitian belum dilakukan.

Namun, ia yakin kejadian itu terkait kerusakan ekosistem lokal. Ada faktor perubahan iklim, aktivitas manusia di lereng Gunung Bromo, dan erupsi Bromo, beberapa bulan lalu.

Karena habitat rusak, kupukupu malam atau ngengat yang semula tinggal di dataran tinggi, ”turun gunung”. Serangga penyuka tanaman tinggi bukan semak atau pertanian itu meletakkan telurnya pada tanaman inang, dalam hal ini mangga di Probolinggo dan mindi di Banyuwangi.

Pancaroba dari musim hujan ke kemarau sejak bulan lalu membuat telur-telur menetas lebih cepat. Satu ekor ngengat rata-rata bertelur hingga 300 butir.

Seluruh telur menetas karena tak ada parasit penghambat kemunculan ulat-ulat muda itu. Burung-burung predator ulat, seperti burung gereja, pipit, kutilang, dan prenjak merosot karena ditangkapi atau kehilangan pohon lindung akibat ditebangi.

Guru Besar Ilmu Hama Tanaman Institut Pertanian Bogor (IPB) Aunu Rauf menuturkan, pengamatannya di Probolinggo memastikan ulat bulu berasal dari keluarga Lymantriidae dengan spesies Arctornis submarginata, satu dari 120.000 spesies ulat di dunia.

”Ulat ini hanya menyerang mangga, tetapi di literatur juga disebutkan bisa memakan kayu manis,” katanya. Data Kementerian Pertanian, Jumat, menunjukkan, di Probolinggo sebanyak 14.813 pohon mangga diserang ulat bulu.

Karena sangat banyak, ulat-ulat itu berkeliaran mencari tempat berlindung hingga ke rumah-rumah warga. Serangga itu hampir memasuki fase kepompong sehingga butuh tempat untuk menggantungkan selimut pulpanya.

Seiring fase ulat yang makan waktu 2-3 pekan, serangan ulat akan mereda. Lalu, ulat berubah menjadi kepompong. Selanjutnya, bermetamorfosis menjadi ngengat bersayap putih polos.

Migrasi ngengat

Mengenai asal muasal serangan ulat bulu, Aunu punya dugaan, khususnya di Probolinggo. Ngengat bermigrasi dari kawasan Gunung Bromo yang erupsi. ”Ngengat bermigrasi ke permukiman karena tertarik cahaya lampu,” kata dia.

   Ngengat yang aktif pada malam hari itu ”menguasai” pepohonan mangga di dekat lampu penerangan. ”Saat ngengat bermigrasi, parasit di lokasi itu belum siap sehingga kewalahan mengatasi ulat bulu,” kata Aunu.

Ia berharap parasit ulat bulu setempat sudah menyesuaikan diri dan siap menghambat kehadiran ulat-ulat bulu di masa mendatang.

Untuk jangka panjang, Warsito menyarankan agar daerah itu mengembalikan musuh alami ulat. Salah satunya, melakukan konservasi jenis-jenis burung pemakan serangga.

Antisipasi

Sebagai langkah antisipasi ledakan ulat bulu berikutnya, warga dapat mengambil kepompong dan memasukkan ke tabung plastik. Bila yang keluar ngengat, bisa langsung dimusnahkan. ”Kalau yang muncul serangga lain, mirip lebah, sebaiknya dilepas ke alam,” kata Aunu.

Siklus hidup ulat menjadi kupu-kupu siap bertelur sekitar enam pekan. Karena itu, Aunu mengimbau warga dan petugas setempat mewaspadai pepohonan mangga yang belum habis terserang ulat karena berpotensi digunakan untuk meletakkan telur.

Warga juga diimbau untuk intensif memantau pohon-pohon mangga yang tersisa sebagai kewaspadaan dini terhadap terulangnya serangan ulat. Jika sudah dijumpai ulat-ulat bulu muda berukuran kecil, warga mengantisipasi penyebarannya dengan semprotan insektisida biologi yang berisi bakteri Basillus.

Bakteri dalam pestisida yang disemprotkan akan menempel di daun yang menjadi makanan ulat. Sesampainya di saluran pencernaan, bakteri mengeluarkan racun yang mematikan ulat. Cara ini lebih aman dibanding pestisida kimia yang bisa membunuh serangga lain atau jamur, virus, dan bakteri baik.

Selain keberadaan serangga lain, seperti lebah dan lalat, juga dibutuhkan ekosistem setempat sebagai parasit untuk menjaga keseimbangan populasi ulat. Adapun jamur dan virus menjadi sumber penyakit yang berperan menghambat kepompong menjadi ngengat.

Ketiadaan parasit diduga menjadi salah satu penyebab ledakan populasi ulat. Hal itu akibat musim hujan berkepanjangan dan penggunaan insektisida yang membunuh semua jenis serangga.

Baik cuaca, bahan kimia pembunuh hama, maupun hilangnya predator, semua menunjuk pada ulah manusia yang tak lagi hidup selaras dengan alam. (Gesit Ariyanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com