Kota Agung, Kompas -
Kepala Bidang Wilayah I Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Iwen Yuvanho, Sabtu (2/4) di Kota Agung, Tanggamus, Provinsi Lampung, mengatakan, dari total 358.000 hektar areal TNBBS, hampir seperlima atau 61.000 hektar di antaranya dirambah warga untuk dijadikan lahan garapan tanaman kopi, kakao, dan lada.
Pertengahan 2010 dilakukan penertiban, tapi upaya ini kurang berhasil. Warga perambah masih saja kembali ke kawasan hutan. ”Jumlahnya (perambah) sekitar 16.000 keluarga. Bukan pekerjaan mudah untuk menertibkan mereka,” ujar Iwen.
Padahal, keberadaan perambah dalam jumlah besar sangat kontraproduktif dengan upaya pelestarian kawasan. Selain merusak ekosistem TNBBS, keberadaan perambah juga meningkatkan peluang terjadinya perburuan ilegal satwa-satwa dilindungi, seperti gajah, badak, harimau, dan rusa.
Menurut Ujang Suryadi, aktivis Yayasan Badak Indonesia (Yabi) Wilayah TNBBS, masifnya aktivitas perambah di TNBBS telah mempersempit ruang gerak satwa-satwa endemik semacam gajah, badak, dan harimau. Konflik manusia dan satwa pun tak terhindarkan, berkisar 30–40 kasus per tahun.
Yang disesalkannya, konflik laten yang muncul akibat masuknya perambah ini bisa menjadi alibi sindikat pemburu liar untuk membunuh satwa. Beberapa bulan terakhir, Yabi sering menemukan kasus penjualan organ satwa yang berasal dari TNBBS.
Misalnya, ditemukan penjualan kulit harimau, gading gajah, dan tanduk rusa. Dalam dua tahun terakhir, berdasarkan data Kepolisian Resor Tanggamus, ditemukan sedikitnya enam kasus gajah mati secara tak wajar yang diduga sengaja dibunuh.
Ikhwanto, aktivis Keluarga Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup (Watala), menekankan pentingnya pendataan ulang batas kawasan TNBBS dan hutan penyangganya. Di wilayah Belimbing Bengkunat diketahui telah terbit 427 sertifikat hak milik di atas kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
”Ini terjadi karena tak sinkronnya peta batas areal kawasan. Balai (TNBBS) punya peta sendiri, begitu pula kehutanan. Sementara warga menganggap itu masuk tanah marga (adat). Persoalan ini harus segera dibenahi,” ujar Ikhwanto.
Iwen pun mengaku, beberapa tahun lalu muncul sertifikat tanah di areal TNBBS yaitu di Way Tenong dan Sekincau, Tanggamus. ”Ini (sertifikat) dibatalkan BPN (Badan Pertanahan Nasional),” ungkapnya.