Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Etnis Rohingnya: Antara Aceh dan Myanmar

Kompas.com - 31/03/2011, 15:00 WIB

KOMPAS.com - Dikawal dua orang petugas Polairud, remaja berusia 13 tahun ini berjalan perlahan. Sebuah tas plastik berwarna biru terlihat dijinjingnya. Begitu ia keluar dari pintu gedung yang sudah ditempatinya selama satu setengah bulan ini, teriakan histeris pun menyambutnya.

“Umar…………! We love you…! “ teriak remaja seusianya bahkan lebih, mengiringi keberangkatan Umar .

Umar Farouk, begitu nama lengkapnya. Usianya baru 13 tahun. Umar adalah satu dari 129 pengungsi illegal asal Myanmar yang terdampar di Aceh, setelah perahu yang mereka tumpangi rusak di tengah lautan.

Diusianya yang masih sangat belia ini, Umar harus menjalani kerasnya kehidupan. Tak ada saudara apalagi orangtua. Bersama laki-laki lainnya Umar meninggalkan Myanmar, karena perlakuan diskriminasi dari otoritas setempat.

Meski tak paham berbahasa Indonesia, namun Umar menyadari kalau dirinya terlanjur “cinta” kepada masyarakat di sekitar tempat penampungan sementara yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka. “Sedih..Nangis…” ujar Umar. Hanya dua kata itu saja yang bisa diucapkannya.

Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Malik (17) dan Muhammad Harun (20). Keduanya mengaku enggan pergi meninggalkan Aceh, karena sudah merasa mendapat penghidupan yang lebih baik dari sebelumnya. “ Tapi kami ingin mencari penghidupan lain, masyarakat Aceh baik, kami senang,” ujar Abdul Malik, dengan bahasa Indonesia yang terbatas.

Di samping Malik, seorang gadis belia terus terlihat sesenggukkan, berusaha keras menahan laju air matanya. Kerudung hitamnya berkali-kali diusapkan ke wajahnya yang memerah, karena terus menangis.

Gadis belia ini bernama Elsa, usianya baru 15 tahun. Elsa adalah siswi Sekolah Menengah Pertama di Krueng Raya, tempat dimana ratusan warga Myanmar ini ditampung sementara setelah ditemukan nelayan Aceh terapung-apung di lautan pada pertengahan Februari 2011 yang lalu.

“ Saya enggan berpisah dengan mereka, selama ini sudah terjalin sebuah persahabatan yang akrab diantara kami, meski kami tidak saling tahu bahasa masing-masing, tapi kami bisa berkomunikasi dengan baik,” ujar Elsa.

Bahkan menurut Elsa, seharusnya para muslim Rohingnya ini tak perlu direlokasi, dan bisa mencari penghidupan di Aceh.

Kehadiran muslim Rohingnya di kawasan komplek pelabuhan Malahayati, Kabupaten Aceh Besar, memang memberi cerita tersendiri, bagi warga sekitar pelabuhan. Kemiripan secara fisik antara muslim Rohingnya dan warga Krueng Raya, Aceh Besar, membuat mereka seolah tak berbeda. “ Kalau sudah berbicara baru terlihat bedanya, karena antara kami dan mereka saling tidak mengerti, kalau mau berkomunikasi ya pakai bahasa isyarat saja,” ujar Amran, seorang warga.

Setelah satu setengah bulan berada di lokasi penampungan sementara, akhirnya para pengungsi illegal asal Myanmar ini, diputuskan untuk dipindahkan ke karantina Imigrasi Medan Sumatera Utara, menyusul putusan UNHCR yang akan memindahkan manusia perahu ini ke beberapa negara yang bersedia menerima mereka.

Kepala Kantor Imigrasi Aceh, Wilmar Sayuti, di Banda Aceh, Rabu, (30/03/2011) mengatakan, pemindahan para pengungsi asal Myanmar ini dilakukan berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Dirjen imigrasi Pusat.

Proses pemindahan tersebut, kata Wilmar, difasilitasi International Organization for Migration (IOM), dan badan urusan pengungsi PBB, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). “Kita sudah diperintahkan oleh Dirjen Imigrasi pusat untuk menempatkan para pengungsi asal Myanmar ke Medan, Sumatera Utara, selebihnya mereka akan ditangani oleh Imigrasi setempat dan pihak IOM dan UNHCR,” kata Wilmar Sayuti.

Namun Wilmar tidak bisa menjelaskan ke negara mana para pengungsi tersebut akan dikirimkan. Para pengungsi ini diberangkatkan dari Aceh menuju Medan dengan menggunakan jalur darat. “Itu adalah keputusan dan wewenang pihak UNHCR. Yang pasti setelah dikirim ke karantina di Medan, mereka akan di tangani oleh IOM sembari melengkapi dokumen-dokumen mereka sebagai pengungsi oleh UNHCR” kata Wilmar.

Akhirnya, enam bus berbadan besar, perlahan meninggalkan Krueng Raya, Aceh Besar, Rabu (30/03/2011) malam. Kepergian para muslim Rohingnya ini juga meninggalkan kesan tersendiri bagi warga yang berdomisili disekitar pelabuhan Krueng Raya.

Ada yang sedih karena berpisah dengan orang-orang yang sudah dianggap sebagai saudara bahkan keluarga, namun ada juga yang menitikkan airmata karena ditinggal oleh seseorang yang sudah mulai menjadi tambatan hati selama 45 hari terakhir ini. Dan , para muslim Rohingnya ini pun, kembali menjalani garis hidupnya.

Rombongan Umar dan kawan-kawan bukanlah  manusia perahu asal Myanmar pertama yang terdampar di daratan Aceh, setelah berhari-hari terombang ambing di lautan akibat kerusakan perahu yang mereka tumpangi.

Awal Januari 2009 lalu seratusan warga Myanmar dengan kondisi dan tujuan yang sama juga terdampar di daratan Aceh, tepatnya di pulau Sabang. Kemudian pertengahan 2009, kembali sebanyak 55 warga myanmar terdampar di kawasan Meulaboh, Aceh Barat.

Dan penghujung tahun 2009, sebanyak 37 warga Myanmar kembali terdampar di daratan Idi, kabupaten Aceh Timur.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com