Makassar, Kompas
Demikian rangkuman pengamatan Kompas, sepekan terakhir, pada ruas-ruas jalan trans-Sulawesi yang tersebar di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara (panjang total 7.799,76 kilometer).
Rute Makassar-Toraja (Sulsel) berjarak 300 kilometer normalnya ditempuh 8 jam. Namun, lambannya pengerjaan poros Maros-Parepare membuat waktu tempuh menjadi 10-12 jam. Akibatnya, biaya bahan bakar yang biasanya Rp 1 juta untuk bolak-balik Makassar-Toraja kini membengkak jadi Rp 1,3 juta.
Kondisi serupa terjadi di Sulteng, khususnya poros Palu-Parigi Moutong-Poso-Tojo Unauna-Banggai-Morowali (700 kilometer). Kerusakan jalan tersebar di semua kabupaten/kota tersebut sehingga total waktu tempuh untuk rute itu yang biasanya sehari molor jadi 2-2,5 hari.
Ruas penghubung Sultra-Sulteng sama memprihatinkan. Hampir separuh dari 170 kilometer panjang jalan trans-Sulawesi di Konawe Utara hancur dan belum teraspal. Akibatnya, jarak Kendari (ibu kota Provinsi Sultra) hingga perbatasan Sulteng sejauh 216 kilometer harus ditempuh 7 jam. Jika mulus, sebetulnya jarak sejauh itu cukup ditempuh 5 jam.
Di poros Gorontalo-Sulawesi Utara (600 km) kondisi diperparah dengan hancurnya jembatan akibat luapan sungai sekitarnya. Di Bolaang Mongondow Selatan, Sulut, terdapat lima jembatan yang kini masih dalam keadaan darurat, menyusul terjangan banjir setahun terakhir.
Pengendara harus berhati-hati melintasi jembatan darurat berbahan kayu pohon kelapa sepanjang 10-20 meter. Lokasi jembatan tersebut, antara lain desa Dudeo dan Biniha Timur (Kecamatan Bolaang Uki).
Kalangan yang terbebani langsung oleh kondisi tersebut adalah perusahaan transportasi. Nugroho Setyanto (44), pemilik perusahaan angkutan yang melayani rute Makassar menuju beberapa daerah di bagian utara Sulsel, seperti Toraja, Palopo, dan Masamba (Luwu Utara), mengaku, waktu tempuh menjadi lebih panjang selama dua tahun terakhir.
Djafar Suraeni (41) dan Laudin (44), pemilik usaha angkutan Baturube-Luwuk (Sulteng), mengakui pendapatan untuk rute berjarak 220 km itu berkurang. ”Dengan jalan seperti ini, kalau normalnya biaya bensin pergi-pulang Rp 250.000, kami harus keluarkan Rp 350.000. Itulah risiko dari sering-sering memindahkan persneling,” katanya.