Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengecap "Manisnya" Udang Windu

Kompas.com - 19/03/2011, 03:34 WIB

Ada suasana nostalgia yang muncul saat menyaksikan gerakan lincah calon-calon induk udang windu (Penaeus monodon) di tambak milik Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP), Jepara. Hampir sewindu berlalu spesies asli Indonesia yang pernah menjadi primadona itu tenggelam dalam jagat komoditas.

Pada masa jayanya pada era tahun 1980-an, komoditas udang windu atau kerap disebut black tiger menjadi andalan ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Namun, kesuksesan itu luluh lantak pada tahun 2003 akibat hantaman penyakit.

Kelengahan menjaga mutu induk, benih, kualitas tambak, dan lingkungan dituding menjadi akar kehancuran budidaya udang windu. Namun, pemerintah lagi-lagi gagal dalam mengatasi penyakit. Bagai kacang lupa pada kulitnya, penanganan justru ditempuh dengan jalan pintas, yakni beralih ke budidaya udang vaname.

Seorang importir udang di London, Inggris, pernah menuturkan bahwa udang windu Indonesia memiliki kekhasan rasa yang lebih manis dibandingkan produk serupa dari negara lain. Nilai jualnya juga tinggi di pasar internasional karena dihasilkan lewat pola tradisional berupa pemberian pakan alami dan tanpa obat-obatan.

Budidaya udang windu bisa diibaratkan sebagai usaha dengan biaya ”kaki lima” untuk menghasilkan harga ”bintang lima”. Mengapa demikian? Pola budidaya tradisional dan semiintensif mampu menekan biaya produksi sampai 50 persen.

Sebaliknya, harga jual udang windu lebih mahal 10 persen ketimbang harga udang vaname.

Namun, seluruh potensi itu seolah terabaikan. Kebangkitan yang lamban menyebabkan rekayasa genetika untuk pemuliaan induk udang windu yang tahan penyakit baru mampu menghasilkan keturunan keempat (F4).

Sebaliknya, Vietnam, yang pada 1980-an tidak diperhitungkan sebagai produsen udang windu, kini tampil sebagai salah satu produsen utama dunia.

Upaya mengecap kembali ”manisnya” udang windu tak akan berhasil tanpa terobosan induk dan benih udang (benur) unggulan yang tahan penyakit, standardisasi benih, serta penyuluhan cara budidaya yang baik ke masyarakat.

Masih banyak kawasan yang cocok dikembangkan untuk udang windu, seperti beberapa tempat di Sulawesi Selatan, Gorontalo, NAD, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Di tempat itu tak perlu membuka lahan baru, melainkan revitalisasi tambak-tambak telantar yang jumlahnya kini mencapai 60 persen dari 410.000 hektar tambak tradisional.

Pola budidaya tradisional ataupun semiintensif yang ramah lingkungan layak dipertahankan. Pola budidaya udang secara tradisional dan semiintensif lebih efektif menangkal serangan penyakit udang dalam jangka panjang. Berbeda halnya dengan pola budidaya intensif skala besar yang bergantung pada pakan buatan, serta kesulitan mengontrol pengolahan limbah yang memicu serangan penyakit.

Saatnya melibatkan masyarakat untuk menanam bakau sebanyak-banyaknya di pinggir pantai guna menopang daya dukung lingkungan. Kejayaan udang windu jangan berakhir sebagai nostalgia. (BM Lukita Grahadyarini)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com