Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok "Mbah Maridjan"

Kompas.com - 19/03/2011, 02:52 WIB

Jumat (11/3) malam di salah satu ruang di Keraton Kilen, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, budayawan Moeslim Abdurrahman, pengusaha Arifin Panigoro, Ketua Proyek Pembangunan Rumah Sementara untuk Pengungsi Merapi Posko Jenggala Andi Sahrandi, dan AB Saleh (tokoh Angkatan 66 dari Institut Teknologi Bandung) terlibat dalam suatu percakapan tentang berbagai masalah dalam negeri dan luar negeri.

Dari masalah pemberitaan terkait WikiLeaks, tsunami di Jepang, rancangan undang-undang tentang Keistimewaan DIY, pengungsi bencana alam di Indonesia, sampai almarhum Mbah Maridjan dibahas hingga larut malam dalam acara itu.

Sabtu pagi-pagi sekali, peserta diskusi itu telah berada di Desa Ploso Kerep, kaki Gunung Merapi, sekitar 37 kilometer arah utara Keraton Yogyakarta. Di sini berlangsung upacara serah terima 330 rumah dari bahan bambu, untuk tempat tinggal sementara korban letusan Gunung Merapi, dari Posko Jenggala yang dipimpin Andi Sahrandi kepada Bupati Sleman Sri Purnomo. Kegiatan ini juga diselingi pergelaran kesenian jathilan (semacam kuda lumping) dan pelantunan tembang-tembang Jawa populer.

Kejujuran penduduk

Dalam acara itu, Andi mengutarakan tentang pembangunan 330 rumah yang berlangsung satu bulan. ”Setiap keluarga mendapat satu rumah. Seperti saran Sultan, hal ini kami lakukan agar setiap keluarga bisa menikmati privasi mereka. Jadi, kami tidak membangun kamp,” ujar Andi.

Pembangunan rumah ini melibatkan sekitar 300 pekerja yang berasal dari pengungsi dan penduduk setempat, terutama yang rumahnya selama ini untuk menampung pengungsi. ”Yang paling berkesan bagi saya, selama pembangunan ini, adalah kejujuran para pekerja ini,” ujar Andi Sahrandi lagi.

Kejuruan itu, kata Andi, teruji ketika diadakan pembagian upah pada hari terakhir pembangunan. Ketika itu, katanya, komputer mati, tak berfungsi. ”Data tentang jam kerja setiap pekerja yang beda satu dengan lainnya hanya ada dalam komputer itu. Data-data jam kerja tersebut terpaksa saya tanyakan sendiri kepada tiap pekerja. Setelah jumlah gaji keseluruhan, Rp 104 juta, dibagi ternyata pas. Kalau ada satu orang pun yang tidak jujur, jumlah itu bisa kurang,” tuturnya.

Seusai upacara serah terima diadakan peninjauan di wilayah tempat asal pengungsi, yakni Desa Kinahrejo (letak rumah Mbah Maridjan). Untuk masuk ke wilayah itu, setiap mobil dipungut biaya Rp 5.000 dan sepeda motor Rp 2.500.

Kinahrejo kini menjadi wilayah wisatawan. Setiap hari libur, ribuan orang dari berbagai tempat datang ke tempat itu. ”Pemasukan dari karcis masuk kendaraan tiap hari Sabtu, Minggu, atau hari libur lainnya sekitar Rp 20 juta,” ujar Andi.

Oleh warga Kinahrejo, dipimpin kepala desa, di kawasan itu juga didirikan kios yang menjual compact disk dan kaus bergambar letusan Merapi atau sosok Mbah Maridjan serta rumah makan. ”Uang yang masuk itu untuk pembangunan dan hidup penduduk yang menjadi pengungsi asal Kinahrejo dan sekitarnya. Rumah Mbah Maridjan itu daya tarik wisatawan,” papar Andi. (J Osdar)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com