Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pedagang Kelontong Bali Terancam

Kompas.com - 08/03/2011, 16:04 WIB

DENPASAR, KOMPAS.com — Di atas bangku reot, Luh Martini memangku putrinya yang masih balita sambil menyuapi sarapan pagi. Sesekali ia meletakkan piring untuk melayani pembeli yang ingin mencari rokok di warung kecilnya. Namun, Luh Martini kini tak sesibuk 4 tahun silam saat ia pertama kali membuka warung kelontong. Sejak minimarket mulai "mewabah" di kota Denpasar dalam 2 tahun terakhir, usaha kecil-kecilannya ini terus meredup bagai lampu petromak yang kehabisan minyak.

"Kalau orang lupa beli gula atau minyak di pasar baru ke sini," keluhnya saat ditemui Kompas.com, Senin (7/3/2011). Tak jauh dari warung kelontongnya yang terletak di Jalan Dewata, Denpasar, berdiri 3 minimarket yang saling bersaing memancing pelanggan. Sebagai pedagang kecil, ibu dua putri ini hanya bisa pasrah karena tak mungkin menandingi "juragan" bermodal besar.

"Mulai Januari kemarin terasa sekali pengaruhnya. Dulu bisa Rp 700.000 per hari, sekarang paling 300 sampai 350 ribu," imbuh wanita 30 tahun ini. Martini sadar bahwa di saat kondisi ekonomi semakin sulit, masyarakat tentu lebih memilih minimarket yang menawarkan harga jauh lebih murah dibanding warung kelontongnya.

"Kalau ngurangi harga kan nggak mungkin soalnya kita beli barang di pasar dan mereka langsung dari distributor," ungkapnya.

Nasib serupa juga dialami oleh Bu Suarna, pedagang kelontong di Jalan Bedugul, Denpasar. Bahkan, kondisi warung milik istri Wayan Suarna ini lebih parah dibanding Luh Martini karena bersebelahan dengan minimarket ternama.

"Kalau dulu orang deket-deket sini langganan ke saya, sekarang susah setelah ada "I" Maret," keluhnya. Wanita yang enggan disebutkan nama aslinya ini terpaksa mengurangi barang dagangannya agar tak semakin merugi. "Kalau dulu jualan apa aja bisa, sekarang nggak bisa. Tisu-tisu, sabun, pembalut sekarang nggak bisa dijual," bebernya.

Keuntungan dari  warung kelontong yang sudah 13 tahun ia geluti ini terus merosot drastis hingga 50 persen sejak "I" Maret berdiri di sebelah warungnya 2 tahun lalu. "Pas pertama buka, saya hampir nggak dapet jualan, sampai nggak bisa ke dapur," kenangnya. Kini, ia hanya menunggu tindakan pemerintah untuk lebih memikirkan keberadaan mereka di tengah derasnya arus globalisasi. "Kalau bisa pajaknya ditinggiin supaya harganya bisa standar dengan kita, kalau pajaknya dikit kita yang mati," katanya.  

Luh Martini dan Bu Suarna adalah potret dari ratusan atau bahkan ribuan pedagang kelontong yang menjerit di tengah "virus" minimarket yang tak terkendali di Bali. Kini, mereka hanya menunggu ketegasan pemerintah daerah untuk lebih menertibkan keberadaan produk kapitalis tersebut.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com