Cyprianus Anto Saptowalyono
Setiap hari sekitar 2.000 sopir truk menyeberang menggunakan feri dari Pelabuhan Merak menuju Bakauheni. Merekalah pemberi ”madu” pendapatan bagi operator pelayaran di lintas penyeberangan Jawa-Sumatera itu. Ironisnya, belakangan ini mereka justru banyak mengalami masa pahit.
Para sopir truk itu harus mengantre berhari-hari akibat antrean panjang
Saeful, sopir truk pengangkut makanan ringan dari Jakarta tujuan Lampung, berdiri menyandarkan punggungnya pada bak truknya yang berhenti di ruas Cikuasa Atas, Kota Cilegon, Banten, Senin (21/2). Pandangannya kosong mengarah ke tebing Cikuasa Atas yang ditumbuhi belukar.
Sudah 13 jam ia lewatkan untuk mengantre dari pintu Tol Cilegon Barat hingga pertengahan ruas Cikuasa Atas yang jaraknya hanya 5 kilometer. Ia mendapat tugas mengantar muatan tersebut dengan ongkos borongan Rp 3,5 juta pergi-pulang Jakarta-Lampung.
Dipotong biaya solar, tarif tol, tarif penyeberangan Merak-Bakauheni pergi-pulang, dan ongkos bongkar muat truk, setiap kali mendapat tugas mengantar barang ke Lampung Saeful mendapat pendapatan bersih sekitar Rp 350.000.
”Itu kalau lancar. Kalau macet begini dan tidak tahu kapan menyeberang, bisa-bisa pulang nanti saya tidak bisa bawa uang untuk keluarga,” kata Saeful.
Pekan lalu, saat terjebak antrean di Merak, dia pun terpaksa menjual telepon selulernya seharga Rp 300.000 karena kehabisan uang.
Berkaca pada pengalaman getir itu, untuk perjalanan kali ini Saeful tidak membawa kernet. Penghematan pun dia lakukan dengan hanya makan dua kali sehari, yakni pada siang dan malam hari.
”Untuk pagi hari cukup ngopi saja agar irit,” kata lelaki yang memiliki tiga anak ini.