Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Leuwigajah, Kami Takkan Lupa...

Kompas.com - 21/02/2011, 20:38 WIB

Enam tahun berlalu sejak 21 Februari 2005 saat 157 jiwa melayang dan dua kampung terhapus dari peta karena tergulung longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah. Memori itu kian redup seiring perjalanan waktu, tapi tidak bagi masyarakat adat Cirendeu, Kota Cimahi. Bagi mereka, lupa adalah sesuatu yang harus dilawan agar tidak terperosok pada lubang yang sama di masa mendatang.

Sekitar 20 orang berbaju serba hitam duduk melingkar di sebuah punggung bukit dan mendengarkan alunan karinding yang dimainkan sebagian dari mereka. Suara alat musik dari bambu itu dimainkan dengan cara menjepitnya di bibir dan ditepuk dengan telapak tangan kanan. Suara yang dihasilkan bernada tinggi, melengking, dan berpadu dengan embusan angin yang berderu kencang. Magis.

Usai membaca doa, peserta yang berasal dari Kampung Adat Cirendeu menyusuri jalan setapak, menuruni bukit untuk menuju sebuah tebing yang menghadap sebuah lembah. Dasar lembah itu berwarna hijau oleh tanaman liar, meski tanah yang dipenuhi sampah masih mengintip di sela dedaunan. Di sana, mereka menebarkan bunga dan langsung diterbangkan angin yang mengalir liar.

Tepat enam tahun berlalu, persis di hari Senin, tepatnya pukul 2.00 dinihari saat tumpukan sampah di TPA Leuwigajah longsor. Datang bak gelombang tsunami, sampah anorganik berupa plastik, gabus, kayu, hingga sampah organik menghantam dua pemukiman yakni Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Pemukiman yang penuh kehidupan itu langsung luluh lantak tertimbun sampah meski berjarak satu kilometer lebih dari puncak tumpukan sampah.

Gunungan sampah sepanjang 200 meter dan setinggi 60 meter itu goyah karena diguyur hujan deras semalam suntuk dan terpicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah. Sampah di TPA itu memang menggunakan sistem open dumping yakni dibuang dan ditumpuk begitu saja.

Akibat kejadian tersebut, tercatat 157 orang meninggal dunia, belum termasuk harta benda yang lain. Inilah musibah yang barangkali tercatat pertama kali dalam sejarah peradaban manusia, ratusan nyawa melayang gara-gara tertimbun sampah. Tidak sedikit orang yang terpisah dengan kerabatnya, seperti Yuyun Ridwan Tajudin yang kehilangan kakak kandungnya.

Buntut dari musibah tersebut memang panjang, kepala dinas urusan persampahan dari tiga daerah yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi, diseret ke muka pengadilan karena dianggap lalai. Hanya saja, ketiganya hanya diganjar hukuman percobaan meski divonis bersalah 18 bulan setelah longsor terjadi. Begitu pula dengan gugatan perdata korban TPA Leuwigajah pun menguap tanpa ada hasil.

Pada tahun-tahun pertama selepas kejadian itu, pemerintah daerah masih mengadakan acara peringatan tragedi TPA Leuwigajah. Namun, seiring waktu, acara peringatan kian jarang dilakukan. Hingga peringatan tahun 2011 ini, pemerintah tak lagi hadir.

Tidak berhenti

Panitren Kampung Adat Cirendeu, Asep Abas, menuturkan bahwa pihaknya tidak akan berhenti memperingati tragedi ini. Tidak perlu diperingati secara meriah, yang penting selalu mendoakan arwah para korban yang tertimbun sampah.

"Kami akan terus melawan lupa. Jangan sampai kejadian serupa kembali berulang 20 tahun kemudian, barulah orang-orang ingat mengenai Leuwigajah," ujarnya.

Menurutnya, longsornya Leuwigajah adalah buah ketidakseimbangan alam akibat pemerintah yang kurang teliti dalam membuat kebijakan. Lokasi pembuangan sampah telah menimbun setidaknya tiga mata air yang biasa dimanfaatkan warga.

Kini, alam kembali menyeimbangkan diri. Sisa tumpukan sampah mulai tertutupi tanaman liar. Tinggal menanti pohon bertumbuhan agar daerah itu kembali hijau. Hanya saja, ingatan pahit 21 Februari 2005 itu tidak boleh lekang dari kepala bangsa ini. Melawan lupa.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com