Kekhawatiran masyarakat di lereng gunung berapi di Yogyakarta itu memang beralasan karena volume lava pasca-letusan Oktober-November tahun lalu telah mencapai 14 kali lipat dibandingkan dengan kondisi sebelum erupsi.
Hujan yang mengguyur kawasan itu dalam dua bulan terakhir ini telah menimbulkan terjangan banjir lahar dan timbunan batuan dan pasir yang luas. Padahal, menurut taksiran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, material yang ”turun gunung” baru sekitar 10 persen dari seluruhnya.
Untuk memberi peringatan akan datangnya ancaman itu di kawasan Merapi, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Badan Geologi Kementerian ESDM Subandriyo mengatakan telah menambah jumlah sistem peringatan dini banjir lahar.
Sistem peringatan dini lahar Merapi, sebagai salah satu gunung api yang aktif di dunia itu, menurutnya sudah terpasang sejak tahun 1994. Sistem peringatan dini lahar terdiri dari alat penakar curah hujan otomatis, kamera CCTV, dan geofon atau pemantau aliran akustik yang masing-masing dilengkapi dengan sistem telemetri atau alat pengirim data secara otomatis ke stasiun pusat pemantau di BPPTK dan pengendali operasi di Kabupaten Magelang dan Sleman.
Geofon adalah alat pemantau gerakan atau pergeseran tanah yang mengonversikannya menjadi tegangan listrik sehingga pergerakan itu dapat direkam. Berbeda dengan alat pemantau gempa atau seismometer, geofon mengukur gelombang di permukaan bumi yang frekuensinya lebih tinggi sekitar 1 hertz dibandingkan dengan gelombang gempa yang sumbernya ada di lempeng bumi.
”Alat yang berupa tabung ini akan ditanam sedalam setengah meter kemudian dihubungkan kabel ke telemetri untuk pengiriman hasil rekamannya secara langsung ke stasiun pusat,” papar Subandriyo.
Geofon yang terpasang pertama kali di Merapi pada 1994 merupakan bantuan United States Geological Survey (USGS). Namun, alat itu, sejumlah empat unit, semuanya telah rusak tahun 1997.