Pesan itu dikemukakan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Bandung Miftah Faridl, Kamis (23/12), terkait dengan perayaan Natal di Jabar tahun ini. Menurut Faridl, dialog sangat penting dalam menjembatani segala perbedaan tanpa menggunakan jalan kekerasan.
Sebagai tokoh Muslim, Faridl mencontohkan pandangan dalam Islam yang menyebutkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. ”Rahmatan lil alamin artinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Momentum Natal ini sekaligus menjadi pembuktian bagi makna Islam itu,” ujarnya.
Konsep damai dan penghargaan kepada umat beragama lain untuk beribadah, menurut dia, tidak hanya dikenal dalam Islam. Agama apa pun mengajarkan umatnya untuk saling menghormati dan bertoleransi.
”Umat agama apa pun sudah sepatutnya menghargai dan memberikan kesempatan kepada saudara-saudara kita merayakan Natal. Sikap memaksakan kehendak serta pandangan kepada orang lain tidak diajarkan dalam agama apa pun,” ungkapnya.
Guru besar Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung itu berpendapat, sikap intoleran yang akhir-akhir ini muncul di masyarakat disebabkan minimnya ruang dialog antarumat beragama. Perbedaan pemahaman yang semestinya bisa tuntas dengan dialog malah berkembang menjadi sikap antipati dan ditanggapi emosional.
Kondisi itu seperti terjadi saat sejumlah orang yang mengatasnamakan diri Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan Gerakan Reformasi Islam meminta rumah penduduk di Perumahan Rancaekek Bumi Kencana disegel karena dijadikan tempat ibadah jemaat Huria Kristen Batak Protestan.
”Itu hanya kesalahpahaman soal prosedur atau aturan yang tidak disepakati bersama. Hal semacam itu semestinya tidak perlu disikapi emosional dan lebih baik dibicarakan bersama. Peran pemerintah untuk menjem-
Secara terpisah, Koordinator Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Bandung Alexander Dato mengatakan, Natal juga menjadi momentum bagi umat Kristiani untuk menyebarkan terang dan damai kepada orang lain.