Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wajah Kampung Yogyakarta

Kompas.com - 13/12/2010, 09:15 WIB

Globalisasi memengaruhi seluruh bagian kota di mana pun juga. Hal sama terjadi di kampung- kampung Yogyakarta yang tumbuh dari tata kota tradisional. Namun, terjangan globalisasi yang bersifat individualistik itu tak mampu menggulingkan nilai tenggang rasa yang telah terpelihara sejak lama.

Tenggang rasa, atau yang disebut tepa selira dalam bahasa Jawa itu, justru semakin kental dalam kehidupan perkampungan tradisional di Kota Yogyakarta. Hal ini setidaknya tecermin dari penataan gang-gang di sana. Disebutkan dalam buku, sejumlah warga di perkampungan merelakan sebagian tanah hak miliknya untuk digunakan sebagai jalan umum maupun kegiatan bersama warga lainnya.

Berangkat dari kajian arsitektur, buku ”Arsitektur Kampung Tradisional” ini mengungkapkan pergeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat perkampungan tradisional di Kota Yogyakarta. Baik nilai budaya yang tetap lestari maupun yang semakin luntur berusaha dikupas melalui perubahan tata kampung itu sendiri.

Penulis buku, dosen dan peneliti arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Amos Setiadi, meneliti perubahan ini di sejumlah kampung tradisional di Kota Yogyakarta. Di antaranya, Sosrowijayan, Sosrodipuran, dan Jogonegaran. Ketiga kampung ini merupakan perkampungan yang tumbuh dari dalem atau tempat tinggal para kerabat keraton di masa lalu. Buku ini menyebutkan setidaknya 27 kampung tradisional di Kota Yogyakarta yang letaknya berdekatan dengan Keraton Yogyakarta.

Salah satu perubahan yang menonjol adalah perubahan fungsi perkampungan tradisional. Dulunya, perkampungan itu didirikan untuk mendukung keberadaan keraton, misalnya, kampung abdi dalem untuk hunian para abdi dalem keraton, kampung bregada dan kampung sentana untuk hunian prajurit keraton. Terdapat pula kampung dalem, yaitu perkampungan yang tumbuh di lahan dalem atau rumah kerabat keraton.

Seiring waktu, kampung-kampung tersebut semakin bertambah padat karena pertumbuhan penduduk asli maupun hadirnya para pendatang. Fungsinya pun berubah menjadi pusat kegiatan komersial yang berkaitan dengan pariwisata. Banyak rumah di perkampungan tradisional itu menjadi toko cendera mata, agen perjalanan, maupun penginapan.

Perubahan lainnya adalah menipisnya kepercayaan penghuni kampung tradisional terhadap konsep kosmologis Jawa. Salah satunya adalah tidak diterapkannya lagi konstruksi gerbang (seketeng) yang dahulu diyakini sebagai batas antara niat jahat dan baik atau liyu (istirahat total, baik lahir maupun batin). Selain itu, wajah kampung juga semakin banyak diwarnai bangunan-bangunan modern dan bersifat praktis. Bangunan modern itu mulai masuk sejak zaman kolonial Belanda.

Tenggang rasa

Tingginya tenggang rasa atau tepa selira merupakan salah satu pegangan masyarakat Jawa saat hidup bermasyarakat. Di era globalisasi ini, tenggang rasa menjadi cara warga menyiasati ruang kampung yang semakin terbatas karena makin padatnya perumahan.

Selain berbagi tanah hak milik untuk jalan, gang-gang di perkampungan juga sering digunakan sebagai lokasi kegiatan privat yang dilakukan bersama-sama. Kegiatan itu antara lain menjemur pakaian dan memasak. Meskipun tidak ada aturan tertulis, warga tak keberatan pemanfaatan ruang umum untuk kegiatan privat asal kegiatan ini tidak mengganggu kepentingan warga lainnya.

Buku ini menjadi lebih menarik karena penulis memperkaya kajian arsitekturnya dengan sudut pandang lain sejarah, antropologi, sosiologi, dan psikologi. Pembentukan tata kota Yogyakarta diulas dengan berbagai kajian, seperti garis sakral utara dan selatan maupun tatanan manunggaling kawula gusti. Sejarah perkampungan, dalem, maupun lokasi penting di Yogyakarta disertakan dengan kajian antropologis.

Lokasi Pasar Beringharjo, misalnya, dibangun antara ujung Malioboro dan Keraton sebagai simbol gangguan keduniawian bagi manusia yang akan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan disimbolkan dengan keraton.

Dalam kata pengantar, Amos menuliskan, telaah arsitektur kampung budaya tak akan lengkap jika tidak dibantu sudut pandang lain. Karena para penghuni kampung adalah makhluk berakal budi, baik secara pribadi maupun kelompok, yang membangun lingkungan tempat tinggal dengan peradabannya, dan termanifestasi dalam artefak arsitektur. Dengan kata lain, arsitektur tak lepas dari pergeseran budaya yang terjadi karena arsitektur merupakan bagian dari budaya itu sendiri.

Rektor UAJY Koesmargono mengatakan, kajian arsitektur kampung tradisional ini adalah salah satu upaya mengangkat kearifan lokal yang ada di masyarakat yang selama ini cenderung terabaikan.

(IRENE SARWINDANINGRUM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com