Buku ini menjadi lebih menarik karena penulis memperkaya kajian arsitekturnya dengan sudut pandang lain sejarah, antropologi, sosiologi, dan psikologi. Pembentukan tata kota Yogyakarta diulas dengan berbagai kajian, seperti garis sakral utara dan selatan maupun tatanan manunggaling kawula gusti. Sejarah perkampungan, dalem, maupun lokasi penting di Yogyakarta disertakan dengan kajian antropologis.
Lokasi Pasar Beringharjo, misalnya, dibangun antara ujung Malioboro dan Keraton sebagai simbol gangguan keduniawian bagi manusia yang akan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan disimbolkan dengan keraton.
Dalam kata pengantar, Amos menuliskan, telaah arsitektur kampung budaya tak akan lengkap jika tidak dibantu sudut pandang lain. Karena para penghuni kampung adalah makhluk berakal budi, baik secara pribadi maupun kelompok, yang membangun lingkungan tempat tinggal dengan peradabannya, dan termanifestasi dalam artefak arsitektur. Dengan kata lain, arsitektur tak lepas dari pergeseran budaya yang terjadi karena arsitektur merupakan bagian dari budaya itu sendiri.
Rektor UAJY Koesmargono mengatakan, kajian arsitektur kampung tradisional ini adalah salah satu upaya mengangkat kearifan lokal yang ada di masyarakat yang selama ini cenderung terabaikan.