Kalimat-kalimat di atas adalah penggalan dari lima alinea puisi yang diciptakan dan dibacakan sendiri oleh Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto di bawah tiang bendera setengah tiang di kediaman pribadinya di Jalan Golo No 22, Pandean, Umbulharjo, Yogyakarta, Minggu (12/12). Simbol itu dikatakan Herry mewakili dukanya karena RUU Keistimewaan menjadi polemik bangsa.
Puisi itu merupakan luapan isi hati wali kota peraih Bung Hatta Award menyikapi polemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DI Yogyakarta yang berembus kencang di tengah duka karena Merapi.
Wali kota yang telah menjabat selama sembilan tahun ini mengenakan pakaian peranakan warna hitam, identitasnya sebagai orang Yogyakarta. Jiwa nasionalisme diwakili bordiran bendera Merah Putih di dada kiri dan pin Merah Putih yang terselip di belangkon.
”Ini
Di antara lima kepala daerah di Provinsi DIY, Herry paling tertutup jika dimintai komentar terkait isu Keistimewaan DIY. Berbeda, misalnya, dengan Bupati Bantul Sri Suyawidati dan Bupati Sleman Sri Purnomo yang terang-terangan menyatakan dukungan akan penetapan sebagai bagian dari keistimewaan DI Yogyakarta.
Saat ada wartawan yang meminta ketegasan, apakah berarti dengan puisi itu Herry mendukung mekanisme penetapan gubernur seperti yang selama
”Jangan terjebak hal-hal yang teknis (penetapan atau pemilihan). Yang lebih penting, kita memakai hati agar tidak ada pihak yang merasa dikalahkan dengan keputusan akhir terkait RUU Keistimewaan ini,” ujarnya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.