Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunung Meletus, Ya Enggak Apa-apa...

Kompas.com - 29/11/2010, 09:48 WIB

Nina Susilo

KOMPAS.com — Setelah aktivitas vulkanik Gunung Bromo meningkat, sebagian wisatawan domestik mengurungkan niat untuk berpiknik ke Bromo. Akibat berkurangnya kunjungan wisatawan, pendapatan sebagian pelaku bisnis wisata di Gunung Bromo berkurang drastis. Namun, dengan landasan kesabaran dan harmoni hidup dengan alam, warga Tengger sabar menghadapi situasi ini.

Salah satu pemilik mobil hardtop di Desa Ngadas, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Maryono (45), kini hanya menyiagakan kendaraan untuk mengangkut warga jika ada kondisi darurat. Sudah beberapa hari ini kendaraannya tidak disewakan. Apalagi, sejak Jumat (26/11/2010) sore,  Bromo mengalami erupsi minor.

Jumlah jip yang dimiliki warga Tengger di Desa Ngadas, Jetak, Wonotoro, dan Ngadisari mencapai 177 kendaraan. Biasanya, kendaraan digunakan bergiliran sesuai permintaan.

Untuk perjalanan ke kawah Bromo dan Penanjakan I di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Pasuruan, tarifnya Rp 275.000. Tidak semua uang sewa itu diterima pemilik jip. Sebagian disetorkan untuk koperasi dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Jika dikelola sopir bayaran dan dipotong biaya bahan bakar, pendapatan bersih pemilik mobil berkisar Rp 125.000 setiap perjalanan. Kalau hanya sampai kawah Bromo, tarifnya lebih rendah dan pendapatan pemilik juga lebih sedikit.

Maryono tak terlalu khawatir terhadap aktivitas vulkanik Bromo karena ia masih menggarap ladang kubis, bawang prei, dan kentang. Hanya saja, para sopir, misalnya Yudi (32), sedikit resah kendati masih mendapatkan wisatawan untuk diantarkan ke Penanjakan II di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. ”Bulan ini sudah ada 6 pesanan, tetapi ada yang terancam batal,” katanya. Sumber nafkah Yudi hanya dari mengantar wisatawan.

Para penyedia jasa sewa kuda di lautan pasir Bromo kini juga terpaksa mengandangkan peliharaannya. Mentor (41), warga Ngadisari, Kecamatan Sukapura, mengatakan, kudanya yang bernama Belang sudah 11 hari tidak bekerja. Belang hanya dikandangkan, diberi makan, dan sesekali diajak berjalan-jalan ke lapangan dan dimandikan.

Kuda Sunarjo (32) yang bernama Jonis juga bernasib sama. Sebelumnya, sehari-hari Sunarjo bisa mendapatkan Rp 75.000, bahkan Rp 750.000 saat musim liburan.

Sewa kuda dipatok Rp 100.000 per perjalanan. Namun, Rp 25.000 dipotong untuk kas koperasi dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Di tiga desa di Kecamatan Sukapura, yaitu Desa Ngadisari, Wonotoro, dan Jetak, ada 275 kuda sandel jantan (sandalwood horse) yang disewakan secara bergiliran.

Tetap tenang

Kendati kehilangan pendapatan dari sewa jip dan sewa kuda, Maryono, Sunarjo, dan Mentor tetap tenang. ”Sabar aja. Waktu meletus tahun 2004 saya sedang di bawah tangga kaldera. Saya langsung lari. Kuda lepas dan pulang sendiri. Tetapi, selama ini aman. Poten (pura) juga cuma kena kerikil di pinggirnya,” kata Sunarjo yang memiliki seorang anak perempuan berusia dua tahun.

Keberadaan lautan pasir membesarkan hati dan melindungi warga. Sementara tak menyewakan kuda atau jip, warga Tengger mencurahkan perhatian ke lahan pertanian mereka. Mentor menggarap ladangnya yang seluas 0,5 hektar. Mencangkul, menanam benih kentang, dan memberi pupuk sepanjang musim hujan ini.

  1. Sumiyati (40), warga Wonotoro, tetap membuka warungnya kendati status Bromo Awas dan wisatawan berkurang. ”Orang gunung (arwah leluhur di Bromo dalam kepercayaan Tengger) nyambut gawe, kasarannya bebersih, jadi mengeluarkan awu. Tetapi, enggak apa-apa,” kata ibu dua anak itu. Sumiyati menyiasati kondisi dengan mengurangi stok dagangannya.

Kesabaran menerima gejala alam ini pun merata pada para pelaku pariwisata di sekitar Gunung Bromo. Penjual kaus bergambar Gunung Bromo, Sumanto (18), mengatakan, jumlah penjualan tidak tentu. Adakalanya dalam sehari bisa laku 30 lembar, adakalanya hanya beberapa lembar kaus yang dapat dijual warga Kecamatan Lumbang, Probolinggo, itu. Tetapi, ia menerima saja kondisi itu.

Pengelola wisata petik stroberi, Sri Mukti (50), di Desa Wonokerto, Sukapura, juga mengatakan, hampir tak ada pengunjung mampir ke tempatnya. Padahal, pendapatannya bisa mencapai Rp 500.000 saat ramai pengunjung.

Kini warga tetap menjalani kehidupan sambil berharap aktivitas Bromo akan kembali normal. Menurut Mentor, kalau tak menyewakan kuda, ya menggarap ladang. Kalau ladang kena abu, setelah itu lahan bisa lebih subur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com