Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Cintaka di Menara Kudus

Kompas.com - 24/11/2010, 10:46 WIB

Nasirun Purwokartun dalam novelnya, Penangsang, Tembang Rindu Dendam (2010), menggambarkan sosok Ja'far Shadiq atau Sunan Kudus sebagai pribadi yang mengembangkan Islam bernapaskan cinta. Cinta tak berbatas dan merangkul semua orang dari berbagai suku, ras, agama, dan golongan.

Sunan Kudus selalu menekankan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta alam. Umat Islam mestinya mampu meniru lebah. Lebah adalah perlambang yang indah. Ia tak pernah merusak ataupun menghancurkan bunga yang diisapnya. Bunganya justru menjadi mekar karena kerja sang lebah,” tulis Nasirun.

Kisah ajaran cinta universal Sunan Kudus untuk menghargai sesama manusia berkembang langgeng di Kudus dari generasi ke generasi. Simbol kasat mata ajaran itu bahkan masih tersimpan di atap joglo Pendopo Tajug, pendopo utama dekat Makam Sunan Kudus.

Simbol itu berupa pusaka Sunan Kudus berbentuk keris bernama Cintaka. Pusaka yang diyakini seusia dengan Menara Kudus yang dibangun pada 1549, Senin (22/11) itu dijamas dan dirawat dengan menghadirkan sesepuh tokoh Islam Kudus, Kyai Haji Ahmad Basyir.

”Konon Sunan Kudus memberi nama pusaka itu Cintaka atau Ciptaka karena penyebaran Islam di Jawa berdasarkan cinta dan menciptakan kecintaan,” kata Ketua Yayasan Masjid Menara Makam Sunan Kudus (YM3SK) Em Nadjib Hassan.

Jamasan pusaka itu didahului dengan pengambilan Cintaka yang tersimpan di dalam kotak anyaman bambu di atas joglo Pendopo Tajug.

Desa Tajug

Tajug merupakan nama desa yang masuk dalam wilayah Kerajaan Demak sebelum diganti Sunan Kudus menjadi Kudus (Al Quds). Di Desa Tajug, banyak terdapat candi. Candi-candi itu tidak dihancurkan Sunan Kudus, tetapi dialihkan kegunaannya.

Pengambilan pusaka di Pendopo Tajug itu diiringi dengan lantunan shalawat. Setelah dipisahkan dari warangka (wadah), keris dibersihkan dengan jeruk nipis, air kelapa muda, dan dikeringkan atau dihangatkan dengan ribuan butir gabah. Keris kemudian diberi wangi-wangian tanpa alkohol, dimasukkan ke warangka, dan disimpan kembali di atap joglo.

Rangkaian jamasan itu ditutup dengan bancakan (suguhan) aneka jajanan pasar. Jajanan itu merupakan simbol kesederhanaan hidup sekaligus sikap hidup peduli dengan wong cilik atau rakyat kecil.

”Kami berharap peristiwa jamasan atau perawatan pusaka Sunan Kudus menjadi pelajaran hidup masyarakat untuk tetap merawat iman kepada Allah dan ajaran-ajaran Sunan Kudus tentang cinta kepada semua orang tanpa sekat,” kata Nadjib. (HENDRIYO WIDI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com