Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ngabungbang di Palabuhanratu

Kompas.com - 06/11/2010, 15:01 WIB

OLEH ERNI SUMARTINI

Tradisi ngabungbang sering dilakukan di daerah Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, tepatnya di Pantai Sukawayana. Tempat ini dijadikan ritual ngabungbang karena masyarakat meyakini tempat ini merupakan pantai selatan milik Ratu Laut Kidul.

Ngabungbang berasal dari kata "nga" dan "bungbang". "Nga" berarti ngahijikan atau menyatukan. "Bungbang" berarti membuang atau membersihkan. Bila diartikan keseluruhan, ngabungbang adalah mandi suci dengan niat menyatukan cipta, rasa, dan karsa untuk membuang semua perilaku tidak baik, lahir ataupun batin.

Tujuannya, tak lain bermunajat hanya kepada Allah SWT untuk memohon ampunan dan bertobat dari segala kesalahan yang telah diperbuat. Selain itu, ritual ini juga bertujuan memohon kekuatan untuk kebaikan dalam mencapai segala cita-cita hingga mendapatkan peningkatan kualitas pribadi dalam kehidupan.

Ritual ngabungbang di muara Sungai Cisukawayana, Palabuhanratu, sudah ada sejak zaman Kerajaan Medang Gali (Galih/Galuh) 175-205 M. Karena tujuan ritual ngabungbang tidak menyimpang dari ajaran Islam, tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun di muara Cisukawayana pada tanggal 14 bulan Maulud tahun Hijriah.

Menurut seorang warga setempat, ritual ngabungbang ini tak lain untuk memohon pertolongan, perlindungan, dan keselamatan kepada Allah SWT supaya segala permohonan dikabulkan. Ritual ini dilakukan di muara Cisukawayana sebab tempat ini merupakan tempat bertemunya air sungai dan air laut yang konon ada auranya atau ada manfaatnya.

Pada sore hari pengunjung memenuhi lobi Inna Samudera Beach Hotel, Palabuhanratu. Mereka beragam, dari anak-anak sampai orang lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan. Tujuan mereka hanya satu, yaitu mengikuti ataupun menyaksikan ritual ngabungbang.

Ngabungbang merupakan tradisi membersihkan diri dari tujuh sifat jahat yang ada pada manusia. Caranya dengan membuangnya ke muara Sukawayana. Tradisi ini sudah berlangsung sejak masa Prabu Siliwangi, setiap tanggal 14 Maulud tepat tengah malam dan masih dilakukan sampai saat ini.

Hanya saja, kini pengaruh agama Islam sangat kental meskipun sejatinya tradisi ini bukan hanya untuk pemeluk agama mayoritas itu. Untuk pemeluk Islam, tradisi ini memiliki makna yang lebih dalam karena bertepatan dengan hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Kamar 308

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com