Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Oinan Atunaik Empaskan Niram ke Pohon

Kompas.com - 01/11/2010, 07:06 WIB

MENTAWAI, KOMPAS.com — Wajah penuh duka dan kesakitan itu terkulai lemah di atas tempat tidur lipat milik TNI. Ia tak sendirian. Ada puluhan warga yang juga masih merasakan sakit.

Niram, 26 tahun, baru saja kehilangan anak dan istrinya setelah tsunami Senin pekan lalu. Kini ia masih terlihat terbaring di salah satu sudut Gereja GKPM di Sikakap, kecamatan di bagian selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.

Warga Dusun Muntei, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, itu sesekali terlihat mengurut dadanya dengan tangan. Seakan sisa-sisa benturan material kayu yang dibawa gelombang tsunami masih dirasakannya.

Niram menuturkan, kakinya belum bisa digerakkan karena sakit akibat terimpit batang pohon sagu yang digilas tsunami.

Niram masih sulit melupakan tragedi gempa berkekuatan 7,2 skala Richter yang mengguncang daerahnya, disusul  gelombang tsunami yang konon setinggi pohon kelapa.

Korban yang luka dan selamat dari gulungan gelombang pasang tsunami yang menyapu dusun-dusun di Kepulauan Mentawai sebagian   terbaring di puskesmas dan Gereja GKPM.

Pusat gempa berada pada 3.61 lintang selatan (SL)-99.93 Bujur Timur (BT), 78 kilometer barat daya Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumbar, pada hari Senin (25/10/2010) pukul 21.42 WIB.

"Saya terseret gelombang tsunami sekitar 100 meter sehingga tersangkut di dahan pohon durian. Pohon durian itu berada di tebing bukit," tuturnya dengan wajah terpana.

Betapa tidak, dirinya merasakan gelombang laut yang sempat berputar sekitar setengah jam. Niram masih terbayang bagaimana gelombang itu datang begitu cepat menyapu daratan. Istrinya terseret, dan ditemukan tewas. Begitu juga anaknya, Irwandi (3).

Petani ini mengaku tak ada firasat akan terjadinya bencana gempa disertai tsunami menyapu perkampungannya. Senin siang itu, ia melepas lelah setelah seharian bekerja di kebun cokelat seluas 1,5 hektar. Kelelahannya tak tertahan sehingga tidur lebih awal daripada malam-malam biasanya.

Anak semata wayangnya tidur bersama neneknya, di rumah lain. "Jarak rumah saya dari rumah ibu saya sekitar 400 meter, dan rumah saya dari bibir pantai jaraknya sekitar 100 meter," kata Niram.   

Ia menuturkan, saat gempa, bangunan rumahnya yang terbuat dari material kayu hanya bergoyang sedikit. "Kami merasakan gempa tidak terlalu kuat, maka tak membayangkan atau berpikiran macam-macam, apalagi akan datang tsunami," katanya.

Desa Muntei Baru-baru tidak dialiri listrik kecuali beberapa rumah yang menggunakan genset, dan Niram menggunakan lampu minyak di rumahnya.

Suasana gelap itu makin membuat kepanikan warga ketika terdengar suara tetangganya berteriak memberi tahu warga lainnya bahwa air laut naik. "Oinan atunaik... Oinan atunaik!" demikian suara lantang dari bagian atas rumah Niram. Bahasa Mentawai itu berarti, "Air naik... air naik...!"

Belum usai teriakan itu, Niram merasakan kembali guncangan gempa yang lebih besar daripada sebelumnya, disertai gelombang laut yang langsung menyeret Niram dan istrinya sebelum mereka mencoba melarikan diri.

Dalam suasana gelap dan mencekam itu, air laut menghancurkan rumah-rumah penduduk di Dusun Muntei itu. Empasan gelombang setinggi pohon kelapa itu menyeretnya ke rumah warga hingga ke kaki bukit.

Bersamaan dengan rumah-rumah itu, Niram ikut terseret sehingga tersangkut di pohon durian, sedangkan istrinya terpisah sekitar 20 meter dan masih selamat.

Niram sedikit lega saat warga memberi tahu bahwa istrinya selamat, meskipun sempat dipisahkan gulungan gelombang tsunami itu.

Namun, hatinya kembali pilu dan hancur saat jasad anaknya ditemukan warga di balik puing-puing material bangunan rumah dan pohon tumbang,  keesokan harinya, sedangkan jasad ibunya belum  ditemukan.

Kejadian yang sulit dilupakan itu berlangsung cukup lama olehnya. Gulungan gelombang laut yang menyapu darat itu surut setelah berputar-putar selama lebih dari setengah jam, lalu menyeret material rumah yang telah hancur dan pepohonan yang tercabut dari akarnya.

"Air laut itu berputar-putar cukup lama, sekitar hampir satu jam," katanya dengan mata terpaku menatap tempat tidur lipat di gereja itu.       

Tak lama setelah air laut surut, tutur pria berambut lurus itu, ia diselamatkan oleh sejumlah warga yang datang dari perbukitan. Meskipun telah mendapatkan pertolongan warga, tetapi tetap saja selama dua hari dua malam Niram dan istrinya harus menahan rasa sakit yang luar biasa pada kaki dan dada.

Pada Rabu, tim SAR datang menjemputnya sekitar pukul 15.00 WIB, dievakuasi ke Puskesmas Sikakap untuk mendapat perawatan.

Niram tidak pernah menyangka bencana itu akan datang menghancurkan kehidupan di kampungnya yang telah dilaluinya selama 26 tahun di daerah itu.

Peristiwa naas itu membuat Niram sulit melupakan sepanjang hidupnya. Kini dia hanya berharap ada kehidupan yang lebih baik setelah bencana itu.

"Kami hanya menjalankan kehidupan ini dengan sesederhananya, tanpa harapan berlebihan. Kami hanya mengharapkan ketenteraman dan kedamaian di tanah nenek moyang kami ini," harapnya, sambil berlinangan air mata.

Menurut Niram, daerahnya saat ini memang tidak layak lagi untuk ditempati. Berjuta kenangan telah ia pendam dalam hati seiring dengan terkuburnya sanak saudara dan handai tolan pada perkuburan masal di Dusun Munte, Desa Betumonga, itu.

"Kami masih menunggu keputusan bersama antara warga yang masih selamat dan kepala dusun, apakah kami akan pindah ke daerah yang lebih aman, atau bergeser tempat tinggal ke arah perbukitan," katanya sambil meringis menahan ngilu di kaki kirinya yang tak bisa digerakkan itu.

Niram merasa lebih baik pindah ke tempat lain yang memang aman dari bancana tsunami. "Jika melihat kondisi sekarang, saya lebih memilih untuk pindah ke tempat yang lebih aman," katanya.  (Rudrik Syaputran)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com