Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cengkeh Dibuang Sayang...

Kompas.com - 01/11/2010, 03:22 WIB

Petani cengkeh di Minahasa, Sulawesi Utara, terus dirundung persoalan. Dari permasalahan klasik naik turunnya harga hingga persoalan cengkeh impor. Masalah tahun ini lebih parah. Cengkeh melimpah ruah pada masa panen raya, tapi apa daya tangan tak sampai. Buah cengkeh tak dapat dipanen karena kekurangan tenaga pemetik.

Suatu sore pekan lalu, Benny Mumu (39), petani di Sendangan, Minahasa, sejenak beristirahat di bawah pohon cengkeh. Beralaskan tikar, ia berbaring lelah di atas tanah. ”So lelah,” katanya.

Dari pagi, Benny membanting tulang memetik cengkeh di kebunnya. Hari itu, ia mampu memetik 100 liter, sementara dua keponakannya yang turut memanjat pohon memetik 150 liter. Pekerjaan memetik terpaksa dilakukan sendiri oleh Benny setelah lima buruh pemetiknya pulang ke Manado.

”Hasil ini baru dua pohon,” ujarnya. Benny kemudian menunjuk ratusan pohon cengkeh yang berjejer rapat di kebunnya.

Ia sendiri mengaku tak mampu memetik seluruh pohon cengkeh miliknya dengan tenaga tiga orang. Mencari tenaga pemetik sangat susah. Lima orang tenaga pemetik yang didatangkan dari Manado hanya bertahan seminggu.

Padahal, Benny menjamin tenaga pemetik dengan upah berlipat ganda dari harga biasanya. ”Setiap liter kami patok upah Rp 2.500, ditambah makan tiga kali dan tempat tinggal,” katanya. Dulu, upah sebesar itu sudah termasuk makan dan transportasi bolak-balik Minahasa-Manado. Harga cengkeh mentah yangbelum dikeringkan mencapai Rp 14.000-Rp 15.000 per kilogram.

Rein Tumilaar, petani di Sonder, mengaku kekurangan tenaga pemetik karena keengganan masyarakat terjun ke kebun, terutama generasi muda. Hal itu ironi dengan semaraknya pelaksanaan pemilihan kepala daerah di enam kabupaten dan kota awal Agustus lalu yang mengeksploitasi ribuan orang untuk kampanye. ”Anak-anak muda lebih suka terjun ke politik ketimbang menjadi pemetik,” katanya.

Sekarang ini buruh pemetik cengkeh terpaksa didatangkan dari Gorontalo dan Bolaang Mongondow. Mereka diberi upah pemetik Rp 2.000 per liter ditambah makan dan serta diberi tempat tinggal. Upah buruh itu naik dua kali lipat sejak awal Juli lalu yang hanya Rp 1.000.

Setiap hari, setiap buruh pemetik memetik buah cengkeh 50 liter hingga 200 liter. Keuntungan menjadi buruh pemetik cukup baik. Dengan pendapatan Rp 600.000 sampai Rp 2 juta per minggu jauh melebihi dari upah minimum Sulawesi Utara Rp 1 juta per bulan. ”Tetapi, apa daya kami memang kekurangan tenaga pemetik,” katanya. Cengkeh yang tidak dapat dipetik bakal ”dibuahi” dan menjadi buah rusak sehingga tidak dapat dijual kepada pedagang.

Menurut Rein, beberapa petani terpaksa mengijon tanaman cengkehnya ke pedagang dengan harga jauh di bawah harga pasar.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com