Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Raja Brana, Raja Kaya, Karang Kitri", dan Merapi

Kompas.com - 30/10/2010, 17:54 WIB

Oleh Gatot Marsono

Windu (55), warga Kecamatan Kemalang, Klaten, satu dari ribuan pengungsi, pukul 06.00, nekat bergegas pulang. Alasannya ingin memberi pakan empat ekor sapi miliknya yang ditinggalkan, tentu saja rumah dengan segala isinya. (Kompas, Kamis, 28/10 halaman 24). Tindakan Windu atau mungkin beberapa pengungsi lainnya yang memiliki hewan ternak, jika ditinjau dari bahaya erupsi Merapi yang masih dinyatakan berstatus Awas, jelas salah. Sebab apabila Merapi kembali meletus, nyawa Windu menjadi taruhannya.

Akan tetapi, jika dilihat demi keselamatan empat ekor sapinya dan harta milik yang ditinggalkan, rasanya sah-sah saja. Sebab, bagi masyarakat Jawa, ternak sapi, kerbau, kuda, kambing, babi, ayam (kebo sapi pitik iwen), dan lain-lain adalah termasuk raja kaya.

Adapun harta benda adalah rumah, "plik-plik" atau perhiasan emas, sertifikat tanah, surat berharga lain, termasuk layang gaden. Alat transportasi di antaranya adalah gerobak, andong, sepeda, sepeda motor, mobil, dan perlengkapan rumah tangga elektronik seperti radio, televisi, kulkas, bahkan uang. Kemudian bahan kaman/logistik mulai dari beras, pari, jagung, ketela (pala kependhem, gumandhul, kasemper) termasuk kategori raja brana. Di pekarangan, sawah, kebunan, tegalan berupa tanaman produktif, seperti kelapa, nangka, duren, mangga, salak, dan lain-lain disebut karang kitri.

Kekayaan (raja brana, raja kaya, karang kitri) bagi orang Jawa diperoleh dengan laku prihatin. "Sapa obah mamah, ulet ngelamet, ana awan ana pangan, tuking boga seka nyambut karya, sregep iku gawe kamulyan" (Siapa bekerja dapat makan, siapa cerdik dan kerja keras makan enak, ada hari ada rezeki, rajin bekerja sumber kesejahteraan, makan enak dan baik, hasil laku prihatin, cegah dhahar lan guling/mengurangi makan/puasa dan tidur/tirakat atau kerja keras. (Prof Dr dr Daldiyono Hardjodisastro, SpPD, KGEH dan Wistodiyono Hardjodisatro, BcHK dalam buku "Ilmu Slamet", penerbit BIP/PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia-2010).

Keberanian Windu, juga pengungsi baik yang di Magelang, Klaten, Boyolali, atau yang bermukim di kawasan rawan bencana Merapi, pulang itu ada keperluan penting. Menengok rumah, mengecek isi dan perabotan, merawat raja kaya, memberi minum, makanan ternaknya. Melihat tanaman palawijanya karena semua adalah buah kerja keras, jerih payah selama bebadra, mbangun brayat agung ing madyaning bebrayanan (sejak hidup membangun keluarga di tengah pergaulan bermasyarakat). Semuanya diyakini sebagai kelengkapan hidup yang menjadi kelumrahan di dalam menapaki kehidupan (laku jantraning ngaurip). Bagi Windu, soal kematian adalah pepesthening (misteri dan hak)-nya Gusti Allah, sedangkan manusia hanya dapat membuat pepethan (perencanaan hidup lengkap dengan rincian cita-cita).

Daldiyono Hardjodisastro bahkan mengungkap kearifan lokal budaya Jawa dengan 9W (sembilan pokok proses kehidupan). Wareg-cukup pangan, minum. Wastra busana-cukup sandang, wisma-rumah, waras-sehat jasmani rohani, wasis-terampil bekerja, warga bebrayan-berkeluarga/menikah, warih kusuma-berbudi, beretika, tekun jujur efisien dan produktif, waspada-berhati-hati dalam hidup, dan waskita-arif bijaksana, mampu merancang masa depan dan juga memprediksi masa depan, sering disebut weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum ada kejadian).

Kodrat dan leluhur

Dengan akal sehat, pengungsi yang nekat pulang demi raja brana, raja kaya karang kitri adalah orang-orang yang ngugemi piwulang luhur warisan leluhurnya agar dalam menapaki kehidupan jangan ninggal petung linandhesan kawruh luhur dari para pendahulu/leluhumya. Sebab siapa ninggal petung akan buntung, siapa nerak pepacuh/larangan leluhur akan tidak lestari hidupnya. Mengapa mereka tinggal di daerah rawan bencana Merapi? Rasanya sulit dirunut. Bisa jadi mereka sudah generasi yang kelima atau bahkan kesepuluh. Pertanyaan ekstrem, kenapa mereka membuat rumah di pencit gunung Desa Kinahrejo dan sekitarnya (4 kilometer dari puncak Merapi) dan tidak malu disebut adoh ratu cedhak watu atau adoh lonceng cedhak celeng? Jawabnya, "Sudah kinodrat"/nasib, paringane Sing Kuwasa Gusti Allah. Mereka juga tidak mau dikatakan orang terkucilkan. Nyatanya sudah beranak pinak dan selama Merapi tidak kurdha (erupsi), mereka hidup tenang, nyaman, rukun damai, dan saling asah-asih dan asuh.

Jika didata, warga yang mukim di kawasan rawan bencana Merapi di Boyolali, Magelang, Sleman, dan Klaten secara statistik masih bisa dihitung. Berapa jiwa, berapa KK, berapa hektar pekarangan dan kebunnya, berapa jumlah raja kaya, karang kitri, berapa buah tempat ibadah, masjid, gereja, pura. Berapa lurah, camat, gedung sekolah, puskesmas, pasar, dan kebutuhan vital lain. Apakah mereka perlu relokasi? Berapa triliun rupiah disiapkan pemerintah, lahan mana yang layak, bagaimana proses pembebasannya. Dan yang rasanya pelik, sulit, rumit adalah kemauan para pengungsi.

Beragam pertimbangan harus dicermati, sekaligus perencanaan super matang, komprehensif. Warisan leluhur yang tersisa dan akan diugemi adalah sedumuk bathuk senyari bumi di tohi pati. Nah, jika Bambang Sukasrana/Sukrasana adiknya Bambang Sumantri masih hidup, kesaktian Bambang Sukrosono memindahkan Taman Sri Wedari hanya sekejap mata. Mungkin dapat terpenuhi. Sayang tokoh yang karismatik mirip Sukrosono, yakni mBah Maridjan atau Mas Penewu Surakso Hargo, sudah tinimbalan Gusti Kang Murbeng Dumadi, dan sekarang sudah nyaman bahagia di swarga loka dalam belaian para widodari ayu-ayu. Siapa mau jadi Sukrosono? Kita tunggu saja! Sugeng tindak mBah Maridjan dan kawan-kawan.

GATOT MARSONO Pengasuh Obrolan Pak Bares RRI sejak 1984, Kaca Benggala TVRI Yogyakarta, Tinggal di Yogyakarta  

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com