Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Drama Haru SBY

Kompas.com - 30/10/2010, 04:34 WIB

Selain penguasaan tanah, ketidakadilan agraria juga terjadi dalam penguasaan aset alam. Sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi minyak dan gas kita dikuasai oleh asing. Penguasaan asing di sektor pertambangan, perkebunan, dan perikanan juga meningkat. Ironisnya, eksploitasi berlebihan terhadap alam dilakukan demi memenuhi kebutuhan konsumsi negara lain.

Batu bara sebagai misal; 82,52 persen dari 246 juta ton batu bara Indonesia diekspor. Bandingkan dengan China yang memproduksi 2.761 juta ton dan hanya mengekspor 1,7 persen. Sisanya, 98,3 persen, digunakan untuk kepentingan domestik (World Coal Institute, 2008).

Produksi industri kehutanan, perkebunan, dan kelautan kita juga untuk mendongkrak neraca ekspor Indonesia. Meningkatnya volume ekspor bahan mentah ini kemudian dinyatakan sebagai keberhasilan ekonomi pemerintahan SBY. Padahal, pengerukan alam yang berlebihan itu, selain tak berhasil menyejahterakan rakyat, juga telah mengancam keselamatan rakyat karena memicu bencana ekologis yang tingkat kejadiannya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Bila ketimpangan ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan menjadi negara pengimpor mineral dan batu bara serta industri kehutanan dan perikanan sebagaimana telah terjadi pada industri migas. Pada masa ketergantungan itu kebijakan ekonomi dan politik Indonesia akan sepenuhnya dikendalikan negara lain.

Keberanian politik

Selama enam tahun berkuasa, SBY tidak berbuat maksimal mengatasi ketidakadilan agraria. Bahkan, melalui kebijakan dan perizinan yang dikeluarkan, pemerintahan SBY telah berkontribusi mengukuhkan ketimpangan yang terjadi.

Beberapa undang-undang yang dibuat pemerintahan SBY juga mendapat tentangan publik, antara lain UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Ketiga UU berwatak eksploitatif dan prokorporasi daripada kepentingan rakyat banyak. UU Penanaman Modal—sebelum dibatalkan sebagian pasalnya oleh Mahkamah Konstitusi—memberikan peluang bagi korporasi 95 tahun menguasai tanah.

UU Pengelolaan Wilayah Pesisir juga memberikan hak korporasi untuk menguasai muka air, kolom, hingga dasar perairan selama 60 tahun secara akumulatif dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir (HP3). Konsep HP3 ini mirip dengan pengusahaan hutan dan pertambangan yang telah dikecam banyak orang karena merugikan negara.

UU Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti UU Pertambangan tahun 1967 ternyata tidak menjanjikan perbaikan. Pemerintah daerah seolah berlomba mengeluarkan izin, bahkan terkesan obral. Tak heran jika Jatam memprediksi lebih dari 10.000 izin pertambangan telah diterbitkan oleh pemerintah daerah hingga saat ini. Bahkan, di banyak tempat, daya rusak tambang telah mengancam keselamatan hidup penduduk setempat.

Situasi ini tentu saja tidak akan dapat diperbaiki hanya dengan pernyataan haru Presiden. Pernyataan haru SBY akan lebih bermakna jika diikuti dengan kemauan dan keberanian politik Presiden dalam memimpin langsung reformasi agraria secara menyeluruh, termasuk mencabut semua peraturan perundangan yang menjadi penyebab ketidakadilan.

Presiden tidak perlu ragu mengubah secara mendasar arah pengelolaan sumber-sumber agraria untuk kepentingan rakyat banyak dan kepentingan antargenerasi. Saatnya Presiden menyatakan perang atas ketidakadilan agraria secara sungguh-sungguh dan bukan hanya untuk kepentingan pencitraan semata.

Chalid Muhammad Ketua Institut Hijau Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com