Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Drama Haru SBY

Kompas.com - 30/10/2010, 04:34 WIB

Chalid Muhammad

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terharu saat berbicara di depan peserta peringatan 50 Tahun Agraria Nasional di Istana Bogor.

SBY menyatakan agar di negeri ini rakyat menjadi tuan tanah, tuan yang memiliki bumi dan air yang terkandung di dalamnya (Kompas.com, 21/10).

Bagi sebagian orang, haru SBY boleh jadi dipahami sebagai kegelisahannya melihat ketimpangan agraria di negeri ini. Bagi sebagian lainnya, pernyataan haru SBY terasa mengejutkan karena ketidakadilan agraria bukanlah isu yang baru terungkap. Bahkan, pemerintahan SBY sejak 2004 dipandang memiliki andil terhadap menguatnya ketidakadilan itu.

Ketidakadilan

Ketidakadilan agraria di Indonesia telah berlangsung lama. Bahkan hampir seumur Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 itu sendiri. Semangat keadilan agraria yang dirumuskan pendiri bangsa dalam UUD 1945 telah diselewengkan rezim berkuasa. Demi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, rezim Soeharto membagi-bagikan aset alam negeri ini kepada korporasi dalam dan luar negeri, termasuk kroninya.

Pemerintahan di era reformasi tidak melakukan koreksi mendasar atas kesalahan itu, bahkan cenderung melanjutkan dan menguatkannya. Hasilnya, menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset yang ada di Tanah Air, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia (www.ugm.ac.id).

Penguasaan segelintir orang atas sumber-sumber agraria makin nyata jika dilihat berdasarkan sektor pembangunan. Pemerintah telah memberikan 42 juta hektar hutan kepada 301 perusahaan hak pengusahaan hutan dan 262 unit perusahaan hutan tanaman industri (Kementerian Kehutanan 06/09).

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bahwa 35 persen daratan Indonesia diizinkan untuk dibongkar oleh industri pertambangan. Sawit Watch menyatakan, hingga Juni 2010 pemerintah telah memberikan 9,4 juta hektar tanah dan akan mencapai 26,7 juta hektar pada 2020 kepada 30 grup yang mengontrol 600 perusahaan. Luas itu setara dengan tanah yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal, masih banyak petani kita yang tak memiliki tanah atau menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.

Jika dikelompokkan, perusahaan yang menguasai lebih dari 50 persen tanah republik ini tidak sampai 500 grup, baik perusahaan nasional maupun asing. Akibatnya, kekuatan ekonomi dan politik negeri ini berpusat dan dikendalikan oleh segelintir orang. Tentu saja mereka tidak terlalu ambil pusing dengan drama haru Presiden.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com