Jakarta, Kompas -
Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Pengembangan Teknologi Sumber Daya Alam
Manajer Proyek Buoy Tsunami BPPT Djoko Hartoyo mengatakan, dari empat sensor gelombang tsunami (buoy) yang ada di sekitar Mentawai, tsunami baru dideteksi buoy India yang ada di Kepulauan Andaman pada 1 jam 20 menit sejak gempa. Sedangkan buoy Indonesia di Simeulue tidak mendeteksi tsunami karena terhalang oleh pulau-pulau yang lebih dekat dengan sumber gempa.
Sementara itu, dua buoy milik Jerman yang ada di perairan barat Sumatera hingga kini belum melaporkan adanya kejadian tsunami ke BPPT sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk mengumpulkan data tsunami Indonesia. Kondisi itu terjadi karena buoy Jerman langsung melaporkan datanya ke Jerman, tetapi belum ada sistem otomatisasi yang membuat data tsunami itu bisa langsung dikirim ke Indonesia.
Di lokasi agak jauh, terdapat buoy milik Australia yang ada di Pulau Kokos dan selatan Bali. Buoy itu baru menerima laporan tsunami dua jam sejak gempa.
Berdasarkan kondisi itu, Ridwan menilai, langkah terbaik menghadapi tsunami adalah mengembangkan dan menjaga kearifan lokal masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil atau pantai saat terjadi gempa. Mereka harus segera pergi ke tempat tinggi saat gempa atau permukaan air laut tiba-tiba surut.
Selama ini, buoy-buoy dipasang di sekitar pertemuan lempeng benua dan lempeng samudera di pantai barat Sumatera sebagai lokasi dengan potensi tinggi terjadi gempa. ”Ternyata lokasi terjadinya gempa tetap sulit diprediksi,” ujarnya.
Selain persoalan teknologi, menurut Ridwan, koordinasi antarlembaga masih menjadi kendala penyebarluasan peringatan dini terjadinya tsunami.
Sesuai aturan yang ada, data buoy diterima BPPT dan diteruskan kepada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
Kenyataannya, infrastruktur antardaerah masih belum baik. Banyak daerah yang belum terhubung dengan jaringan telekomunikasi yang memadai sehingga sulit bagi pemerintah untuk menyampaikan informasi tsunami ke daerah-daerah terpencil.
Djoko menambahkan, buoy yang ada di perairan Indonesia banyak yang rusak akibat kondisi alam yang bervariasi. Kerusakan juga timbul akibat putusnya tali baja penghubung sensor di dasar laut dengan buoy di permukaan akibat tersangkut kail pancing kapal penangkap tuna atau sengaja dipotong untuk diambil tali bajanya.
”Akibat putusnya tali penghubung, data sensor dari dasar laut tidak bisa dikirim ke buoy karena lokasi buoy sudah berpindah,” ujarnya.
Dari 23 buoy yang direncanakan dipasang di seluruh perairan Indonesia, kini hampir semuanya sudah terpasang. Namun, sebagian besar buoy itu rusak. BPPT sedang mengkaji untuk menenggelamkan buoy ke dalam laut atau memasang kabel sensor di bawah laut. Meski efektivitas ketiga metode itu sama, biaya buoy di permukaan laut lebih murah 6-7 kali dibandingkan dengan memasang kabel di dasar laut.