Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Aktivis Republik Maluku Selatan Bisa Jadi Peluang Diplomasi

Kompas.com - 06/10/2010, 03:32 WIB

Di tengah rencana kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, yang akhirnya dibatalkan, muncul kabar ancaman dari kelompok separatis Republik Maluku Selatan. RMS di Belanda sejatinya bukanlah ancaman serius. Mereka adalah bagian dari masyarakat keturunan Nusantara yang berada di Belanda.

Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta JAM Paul Peters mengatakan, sekitar 10 persen dari 16,5 juta penduduk Belanda memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan Indonesia. Warga keturunan Maluku, yang beberapa di antaranya menjadi pendukung RMS, adalah sebagian dari diaspora Nusantara. Masyarakat Jawa, Minahasa, Indo (dikenal sebagai Indisch), dan suku lain juga hidup beranak pinak di Belanda.

Suhartoyo, anggota Tim Penulisan Buku Sejarah Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus), yang pernah bertugas di Belanda tahun 2004-2006, mengisahkan, ada sekitar 45.000 warga negara Belanda keturunan Maluku.

”Bagian terbesar bermukim di Zwolle, Rotterdam, dan Nijmegen. Mereka bergabung dalam berbagai organisasi atau yayasan (stichting) seperti RMS, Front Siwa Lima, dan Pemuda Republik Maluku Selatan. Mereka sering berunjuk rasa di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag atau Wisma Duta di Wassenaar setiap peringatan 17 Agustus,” kisahnya.

Aksi fenomenal RMS terjadi tahun 1966 dengan menyandera 18 tenaga staf KBRI, pendudukan Wisma Duta pada 13 Agustus 1970, dan penyanderaan di Konsulat Jenderal RI di Amsterdam selama 10 hari tahun 1975. Mereka juga pernah menyandera penumpang kereta api di Wijster dekat Beilen, Juli 1975. Aktivis RMS menyandera 57 penumpang dan membunuh dua orang di antaranya.

Aksi itu diulang pada Mei 1977 dengan membajak kereta api berpenumpang 51 orang dari Assen dan Groningen di utara Belanda. Pada saat bersamaan, beberapa aktivis RMS menyandera 110 orang, sebagian besar anak sekolah, di Bovensmilde.

Tahun 1990-an situasi keamanan membaik. Komunikasi berjalan baik antara KBRI dan aktivis RMS. RMS saat ini, ujar Suhartoyo, tidak lagi mendapat bantuan dari Pemerintah Belanda. Keuangan mereka kembang kempis dan tak populer di kalangan anak muda.

Peluang diplomasi

Keberadaan masyarakat keturunan Nusantara adalah peluang diplomasi bagi Indonesia. Beragam komunitas keturunan Indonesia perlu dirangkul dan ”dimanusiakan”.

Pada perayaan 120 tahun migrasi suku Jawa ke Suriname juga digelar kegiatan serupa di Belanda. Ada sekitar 40.000 keturunan Jawa-Suriname hidup di Belanda. Belum lagi keturunan Jawa asal Indonesia. Ketika peringatan itu dirayakan, bendera Belanda, Suriname, dan Merah-Putih dikibarkan bersama. Lagu kebangsaan tiga negara juga dikumandangkan.

Keberadaan komunitas Indisch pun perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Indonesia. Mereka adalah golongan Eurasian atau kulit putih kelahiran Nusantara yang sejatinya lebih nyaman hidup di Indonesia dibandingkan di Belanda. Karena pergolakan politik semasa Revolusi Fisik (1945-1949) dan kampanye Irian Barat (1957), banyak ”bule” berhati Nusantara ini terusir ke Belanda.

Seorang ketua komunitas mereka, yang juga wartawan dan penulis, (almarhum) Vincent Mahieu alias Tjalie Robinson, berusaha mengobati kerinduan terhadap Indonesia dengan membuat penerbitan dan Pasar Malam Tong-Tong. Setiap tahun di Belanda, kita bisa melihat keunikan orang kulit putih atau Eurasian yang berkumpul dan berbicara bahasa Melayu Pasar dalam keramaian itu.

Para Indisch pun mengalami diskriminasi di Belanda. Film dokumenter Contract Pension yang baru dirilis di Belanda mengisahkan kumpulan kesaksian panjang Indisch untuk dapat diterima masyarakat Belanda totok (echt Hollander). Banyak yang menerima perlakuan berbeda karena mereka berdarah Indonesia. Mereka seharusnya kita rangkul. (Iwan Santosa)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com