Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harya Suryaminata "Gundala Putra Petir" di Gang Sempit

Kompas.com - 02/10/2010, 03:39 WIB

Irene Sarwindaningrum

Ibarat gelas berukuran kecil, kebahagiaan Harya Suryaminata begitu mudah terisi penuh dan meluber. Kebahagiaan itu hadir dari hal-hal yang relatif sederhana. Di rumahnya, di ujung gang buntu daerah Karangwaru, Yogyakarta—pencipta tokoh komik ”superhero” asli Yogyakarta, Gundala Putra Petir—itu bercerita tentang hidupnya.

Merekalah sumber kebahagiaan saya,” katanya tentang keluarganya. Terlahir dengan nama Isman Surasa Dharmaputra, orangtuanya lalu mengganti namanya karena dia sering sakit. Orangtuanya percaya, anak mereka sering sakit karena keberatan nama. Maka, di dunia komik dia lebih dikenal dengan nama Hasmi. Sementara di kalangan sahabat dia sering disapa Nemo.

Sejak tak aktif lagi membuat komik, Hasmi menggunakan waktunya untuk mengurusi keluarga. Setiap pagi dia ikut menyiapkan keperluan dua putrinya, Sekar Dewangga (12) dan Ainun Anggita Mukti (6), untuk ke sekolah.

Hasmi membesarkan keluarganya dalam kesederhanaan. Meski karyanya Gundala Putra Petir menjadi salah satu komik lokal terkenal dalam sejarah komik Indonesia, hidup mereka jauh dari kemakmuran. Royalti dari komik dan film tak membuat dia kaya. Dia kerap berjalan kaki atau bersepeda bila pergi ke suatu tempat.

Penghargaan terhadap komikus rupanya masih memprihatinkan. Komik belum dihargai sebagai karya seni sehingga bayaran pembuat komik atau ilustrasi di Indonesia relatif tak seberapa. Namun, Hasmi tak merisaukan hidupnya yang sederhana. Menurut dia, kepuasan itu muncul kala dia bisa menghasilkan karya, berapa pun imbalannya.

Di atas semua itu keluarga bagi dia adalah impian yang semula sulit diwujudkan. Beberapa kali gagal menikah, Hasmi baru menikah saat usianya berkepala lima. Istrinya, Mujiyati (40), semula adalah salah satu ”anak asuhnya”.

Dia mempunyai beberapa anak asuh karena kecintaannya kepada anak-anak. Mereka jugalah yang sejak lama tergabung dalam Anak-anak Gundala atau Gundala’s Kids. Sampai kini saat anak-anak tersebut telah dewasa, mereka tetap suka mengunjungi rumahnya di ujung gang sempit itu.

Hasmi aktif membuat komik tahun 1968-1995. Di ruang tamunya masih ada meja gambar meski dia tak lagi sering menggunakannya. Hanya sesekali ia menggambar, itu pun kalau ada pesanan.

Usia yang tak lagi muda membuat staminanya untuk menggambar jauh berkurang. ”Waktu masih membuat Gundala dalam sehari saya bisa menggambar lima lembar komik. Kini, untuk satu lembar saja, butuh waktu seharian,” katanya.

Mengangkat lokalitas

Meski kemampuannya menggambar relatif terbatas, ide untuk mengangkat nilai-nilai lokal dalam komik tetap tak terbendung. Dengan bersemangat, dia menceritakan komik terbarunya, pesanan seorang dosen yang punya perhatian terhadap kebudayaan Jawa.

Berlatar belakang masa Kerajaan Singasari sampai pilkada pada era reformasi, 13 halaman komik itu berkisah tentang sebilah keris ”haus kuasa”. Alkisah, Jahubang memesan keris kepada seorang empu. Ketika keris selesai dikerjakan, sang empu mengatakan, keris itu bisa membantu pemegangnya menduduki jabatan. Syaratnya, keris tak boleh terlumuri darah.

Namun, hasrat ingin berkuasa telah membuat sang pemilik melanggar pantangan sang empu. Jahubang menggunakan keris itu untuk membunuh sang empu pembuatnya. Begitu pantangan dilanggar, keris pun berubah menjadi benda yang membawa kematian pemegangnya.

Dari zaman Singasari, keris terus beralih kepemilikan sampai zaman Majapahit, lalu perang Giyanti pada penjajahan Belanda, hingga era reformasi. Tragedi terus-menerus berulang, keris selalu membunuh pemiliknya yang haus kuasa.

Pada zaman modern keris haus darah itu dimiliki calon bupati yang ingin menang pilkada dengan ijazah palsu. Bupati haus kuasa itu menuai kemarahan masyarakat. Di tengah unjuk rasa, keris pun beraksi, meminta korban. Di bagian akhir kisah keris berada di tangan penjual barang bekas (klithikan) di Yogyakarta.

Lewat komik dari penerbit lokal Yogyakarta ini, Hasmi mengkritik sifat manusia yang haus kekuasaan, sampai rela menghalalkan segala cara.

”Sebenarnya keris itu tak bertuah, tetapi pemiliknya yang berulah,” katanya.

Komik juga menjadi media Hasmi untuk mengenalkan (kembali) keris kepada masyarakat. Saat membuat komik dia banyak membaca buku tentang keris dan berkonsultasi pada ahlinya.

Lewat komik ini, Hasmi juga ingin mendorong para komikus muda untuk menggali nilai-nilai lokal. Dia prihatin melihat kondisi perkomikan Indonesia yang didominasi komik Jepang. Padahal, dengan sedikit imajinasi, cerita-cerita tradisional bisa diramu menjadi komik yang tak kalah seru dibandingkan dengan komik Jepang.

Malioboro di Gundala

Hasmi selalu mengangkat nilai lokal dalam karyanya. Gundala Putra Petir, misalnya, terinspirasi tokoh Jawa, Ki Ageng Selo, yang punya kesaktian menangkap petir. Sedangkan kostum Gundala diambilnya dari tokoh komik Flash Gordon. Ia juga memasukkan tukang becak Malioboro dan suasana Yogya dalam komiknya.

Di tangan Hasmi tema-tema lokal bersaing dengan komik produk asing yang saat itu juga banyak beredar. Meski dia pun memendam kekecewaan atas karyanya. Tak satu pun naskah asli dari 23 komik Gundala Putra Petir yang masih ada. Naskah-naskah itu hilang setelah diserahkan kepada penerbit.

Kondisi ini membuat serial komik Gundala Putra Petir sulit diterbitkan lagi. Penerbitan ulang beberapa judul Gundala Putra Petir beberapa waktu lalu terpaksa dilakukan dengan memindai ulang setiap halaman komik lama yang telah diterbitkan.

”Baru sekarang saya menyesal, mengapa saat itu tidak meminta lagi naskah aslinya pada penerbit. Tak mungkin saya menggambarnya lagi,” katanya.

Setelah tak lagi banyak membuat komik, Hasmi sering menyalurkan daya kreatifnya di dunia teater dan seni pertunjukan. Beberapa kali dia menulis naskah dan menyutradarai pertunjukan teater atau boneka.

September lalu, misalnya, dia menjadi sutradara pementasan Teater Stemka. Hasmi juga banyak melayani para komikus muda yang ingin menimba ilmu dari dia. Kepada para komikus muda itu, Hasmi senantiasa mengingatkan agar menggali kelokalan.


***

Harya Suryaminata 

• Nama lain: Hasmi 
• Lahir: 25 Desember 1946 

• Sekolah:
- SD Ngupasan 2 Yogyakarta 
- SMP Bopkri I Yogyakarta 
- SMA Bopkri I Yogyakarta
- Akademi Seni Rupa Indonesia, dua tahun, tak lulus
- Jurusan Bahasa Inggris, Akademi Bahasa Asing Jogja

• Istri: Mujiyati

• Anak:
 - Sekar Dewangga (12) 
- Ainun Anggita Mukti (6)

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com