Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aparat Juga Nikmati Bisnis Prostitusi

Kompas.com - 28/09/2010, 06:35 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com — Bisnis prostitusi di Lokalisasi Dolly atau Jarak, Surabaya, Jawa Timur, sudah menjadi mata rantai yang saling mengait.

Tidak hanya melibatkan pekerja seks komersial (PSK) dan mucikari, oknum aparat pemerintah mulai dari RT/RW, kelurahan, hingga kecamatan pun menikmati hasil bisnis ini.

Bagi PSK, bisnis ini mampu membuat mereka meraup puluhan juta rupiah, begitu juga dengan mucikari. Bahkan mucikari yang merangkap berjualan bisa meraup keuntungan berlipat. Dalam sehari—jika kondisi ramai—setiap wisma bisa menghabiskan tiga krat bir.

Harga per krat bir yang dibeli dari distributor sekitar Rp 160.000 untuk bir hitam atau Rp 12.000 per botol. Adapun bir putih dibeli dari distributor Rp 11.500 per botol. Dari setiap botol bir ini, sang mucikari bisa mengambil keuntungan hingga Rp 10.000 dan bisa berlipat jika dilihat dari pelanggan.

Adapun aparat pemerintah bisa meraup uang dari sejumlah prosedur yang harus dipenuhi para mucikari.

Pada awal mendirikan wisma, misalnya, para mucikari harus membayar tarikan izin usaha yang besarnya Rp 2 juta per wisma. Uang ini dibayarkan kepada RT/RW setempat. “Kabarnya, dari RW, uang ini untuk muspika, seperti camat, kepolisian, dan koramil,” kata Han, salah seorang mucikari.

Meski dikatakan sebagai tarikan wajib, Han tidak bisa menunjukkan bukti aturan seperti perda yang mewajibkan aturan tersebut. “Pokoknya disuruh bayar saja, saya enggak tahu aturannya,” ucap Han.

Izin saja tidak cukup untuk melanggengkan bisnis ini. Setiap tahun para mucikari harus membayar lagi uang Rp 185.000 untuk pemutihan usaha.

Ganti pemilik Jika dalam perjalanan waktu wisma beralih tangan ke orang lain, maka sang mucikari yang baru juga harus membayar Rp 225.000. Jumlah ini belum termasuk tarikan-tarikan kecil, seperti membayar semacam pengumuman berisi kesepakatan bersama antar-RW yang tertulis dalam kertas laminasi, dan plakat-plakat yang ditempel di dinding, seperti plakat bertuliskan "TNI dilarang masuk tempat ini".

"Untuk aturan dan plakat itu, kami harus membayar masing-masing Rp 50.000," ungkap Han seraya menunjukkan aturan yang dimaksud.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com