Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Optimisme Genteng Rakyat

Kompas.com - 23/09/2010, 02:45 WIB

Oleh Mukhamad Kurniawan

Usaha genteng rakyat di Purwakarta, Jawa Barat, kian surut lima tahun terakhir. Puluhan pabrik tutup, terutama akibat krisis bahan bakar minyak. Namun, Nasan Subagia memberi warna lain. Totalitasnya menebar optimisme bagi pelaku usaha turun-temurun itu. 

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Oktober 2005, menghancurkan puluhan pabrik genteng. Pada 2004, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Purwakarta mencatat 270 usaha genteng dengan 13.016 pekerja. Namun, setahun pascakenaikan harga BBM tinggal 187 unit dan terus turun hingga 130 unit dengan 3.162 pekerja pada 2009.

Ribuan buruh menganggur. Sebagian pengusaha menjual murah aset bangunan, mesin, dan lahannya karena terdesak utang di bank. Sebagian bertahan meski produksinya jauh berkurang.

Lio atau rumah produksi, seperti terlihat di sentra Tegalwaru dan Plered, banyak yang mangkrak, ditumbuhi rumput liar dan ambruk. Beberapa pabrik berganti menjadi toko atau rumah. Sejumlah lokasi penggalian tanah liat ditinggalkan, berubah menjadi kubangan.

Nasan prihatin. Industri genteng adalah usaha padat karya. Satu pabrik melibatkan 50-300 pekerja yang secara turun-temurun menghidupi warga. Usia industri genteng di Purwakarta diperkirakan sama dengan industri gerabah dan keramik hias, yang menurut warga setempat, dirintis Dasjan, Wasja, Sarkum, dan Suhara pada 1904.

”Tanpa persyaratan keahlian, keterampilan khusus, atau ijazah sekolah, warga bisa bekerja dan hidup dari usaha ini. Tatkala pengusaha bangkrut, warga pun kehilangan sumber penghidupan,” ujarnya.

Nasan tak ingin usahanya gulung tikar. Sebuah pabrik yang dia beli dari warga setempat tahun 1997, dia pertahankan. Setidaknya agar dapur keluarganya, juga keluarga para pekerja, tetap mengepul.

Ia memanfaatkan relasi, mengefisienkan proses produksi, dan melakukan inovasi, Dengan itu, ia mampu menambah pabrik pada 2008. Ia juga merangkul sedikitnya empat pabrik di sekitarnya untuk terlibat dalam kerja sama produksi.

Berbagi

Nasan memanfaatkan kemitraan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman. Kepada mereka, dia menekankan pentingnya ”jemput bola”, inovasi, dan efisiensi produksi.

Sejak kenaikan harga BBM tahun 2005, banyak pengelola pabrik genteng skala besar (berkapasitas produksi belasan ribu genteng atau lebih per pekan) menutup usahanya. Harga BBM tak terjangkau, sulit diimbangi oleh harga jual genteng. Sebagian pengusaha beralih pada kayu bakar, tetapi harga kayu pun terus naik.

Di tengah situasi itu, pengusaha genteng rakyat dihadapkan pada persaingan ketat dengan produk atap bangunan modern berbahan plastik, fiber, dan beton. Produk ini lebih variatif dan sebagian lebih murah harganya ketimbang genteng tanah liat. Kondisi ini kian merontokkan pabrik skala kecil.

Nasan menepis situasi itu dengan ”jemput bola”. Calon pembeli potensial dia datangi. Ia juga membina hubungan baik dengan pelanggan, tetap berkomunikasi, dan menjaga kepercayaan. Kepercayaan itu terpelihara karena perusahaan Nasan memerhatikan kualitas barang, ketepatan pengiriman, dan lentur dalam pembayaran.

Dia juga mendiversifikasi produk. Saat genteng kian sulit bersaing dengan produk atap modern, dia mengembangkan beraneka produk berbahan tanah liat, seperti roster, keramik beton untuk lantai bangunan bertingkat, keramik dinding, dan ubin terakota. Ia melayani kerja sama, terutama dengan arsitek, dalam pembuatan material khas, seperti untuk vila, rumah tinggal, galeri seni, atau sekolah.

Terkait ongkos produksi yang terus naik, Nasan menyiasatinya dengan efisiensi. Ini mulai pengolahan tanah liat, pencetakan, pengeringan, bentuk rak pengering, hingga gerobak pengangkut dan lorong-lorong lintasan gerobak dia perhatikan secara detail. Semua didesain demi menghemat waktu, tenaga, dan ongkos.

Kepada karyawan dan pengusaha di sekitarnya, dia meyakinkan pentingnya ”jemput bola” dan menjaga hubungan baik. Itu karena umumnya pengusaha genteng hanya menunggu pembeli atau berpuas diri dengan penjualan yang diterima.

Nasan juga mengajak beberapa pengusaha ke pabriknya untuk studi banding. Soal desain rak pengering, gerobak, dan lorong, misalnya, masih dianggap remeh oleh sebagian pengusaha.

”Dengan melihat secara langsung, mereka dapat memahami ada waktu, tenaga, dan ongkos yang dapat dihemat dari hal-hal kecil yang dianggap sepele,” ujarnya.

Usaha berbagi, bagi Nasan, adalah kewajiban sosial yang harus ditunaikan. Untuk pengusaha kecil yang membutuhkan, ia memberikan pendampingan.

Pengalaman

Kiprah Nasan di industri genteng Purwakarta tak lepas dari pengalamannya. Sempat bekerja di perusahaan perkapalan di Jakarta pada 1974, ia lalu malang melintang di pabrik keramik modern berskala besar di Bogor dan Bekasi hingga 1989.

Ia sempat ditawari mengelola pabrik genteng skala besar di Purwakarta yang kondisinya kritis karena kondisi manajemennya kurang baik. Jumlah karyawan menyusut dari ratusan orang menjadi tujuh orang dan menanggung utang bank Rp 100 juta.

Tawaran itu menjadi tantangan baginya. Rupanya, resep bisnis yang dia jalankan manjur mengatasi persoalan pabrik. Utang bank terbayar kurang dari dua tahun, permintaan dan produksi meningkat, serta jumlah karyawan kembali ratusan orang.

Tahun 1997 ia membeli pabrik genteng. Bermodal Rp 25 juta hasil patungan dengan teman, ia membeli pabrik yang ditinggal pemiliknya di Desa Pamoyanan, Kecamatan Plered.

”Dengan mengelola pabrik sendiri, saya ibarat berpindah dari ekor gajah ke kepala semut,” katanya.

Perlahan tetapi pasti, ”semut” itu berkembang. Pada 2008, saat sebagian pengusaha berinisiatif menutup usaha, ia justru membeli pabrik. Kini, kedua pabrik itu mempekerjakan sekitar 150 orang dengan kapasitas produksi ribuan genteng, keraton, dinding beton, dan roster per pekan.

Bersama Kantor Penelitian dan Pengembangan Keramik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Purwakarta, Nasan membagikan pengalaman dan pengetahuannya. Dia beberapa kali ”ditodong” untuk menebar ”virus optimisme” di kalangan pengusaha genteng rakyat, terutama di sentra Tegalwaru dan Plered, Purwakarta.

Bersama kantor itu, juga Kementerian Riset dan Teknologi, Nasan bekerja sama menyiasati krisis bahan bakar. Salah satu yang kini sedang diupayakan adalah pembuatan tungku berbahan bakar gas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com