Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Timun Emas dan Lumpur Lapindo

Kompas.com - 18/09/2010, 03:38 WIB

 Anwar Hudijono dan Dody Wisnu Pribadi

Cerita Panji , tidak hanya berbicara masa lalu. Namun, ada yang menafsirkan, juga berbicara masa depan kehidupan masyarakat melalui prosa. Secara substansial sama dengan Jayabaya dan Ronggowarsita yang meramalkan masa depan melalui puisi, simbol, atau pralambang ini: terasi Timun Emas yang berubah jadi lumpur Lapindo.

Misalnya cerita Enthit. Alkisah, Enthit adalah seorang petani bersuara sengau. Dia ingin memikat Ragil Kuning yang cantik jelita. Untuk itu, ia mema- merkan tanaman padinya yang subur (lemu), kacang yang panjang (dawa), dan timun yang gemuk (menthek). Akan tetapi, ibarat burung pungguk merin- dukan bulan, keinginan Enthit tersebut tidak kesampaian karena Ragil Kuning menolaknya.

Enthit bukan hanya gambaran petani pada masa Cerita Panji disusun, tetapi bisa jadi berbicara untuk masa depan. Suara sengau Enthit menggambarkan adanya cacat fisik. Hal ini sebagai kiasan betapa suara petani secara sosiologis adalah nista dan memelas. Paradoksnya kenistaan itu bukan membuat pihak lain timbul empati, tetapi malah tidak mau mendengar aspirasinya.

Tanah yang subur bukan jaminan komunitas petani mendapatkan kekayaan dan menggapai keinginannya yang dikiaskan dengan Ragil Kuning (warna kuning adalah warna emas, dan emas adalah simbol kekayaan). Kenapa? Karena produktivitas hasil pertanian yang tinggi, tetapi nilai tukar produk pertanian selalu rendah.

Cerita klasik petani adalah saat panen harga murah, saat musim tanam harga meroket. Apalagi tingkat kepemilikan lahan yang rata-rata di Jawa hanya 0,30 hektar yang tidak mencukupi untuk satu keluarga. Mereka menjadi pembudidaya pertanian yang bersifat subsisten (produksi dan konsumsi tidak terpisah). Mereka, tulis sosilog James C Scott, seperti berada di laut dengan air sampai seleher sehingga ombak sedikit saja sudah cukup menenggelamkan.

”Mbah Buto Ijo”

Cerita Panji bermuatan ”ramalam masa depan” yang menyangkut sistem sosial-ekonomi kapitalis. Alkisah, ada seorang janda disebut Mbok Rondho. Dia ingin sekali memiliki seorang anak. Maka, datanglah dia kepada seorang raksasa bernama Mbah Buto Ijo agar hajatnya terkabulkan. Buto Ijo setuju dengan syarat kelak agar anaknya diberikan kepadanya untuk dimangsa. Lantaran keinginan yang tidak terbendung, Mbok Rondho itu setuju saja.

Dalam cerita dongeng tersebut tidak dijelaskan bagaimana prosesnya sehingga Mbok Rondho benar-benar mempunyai anak perempuan yang diberi nama Timun Emas. Setelah Timur Emas menapak usia remaja, Mbok Rondho ingat janjinya. Akan tetapi, dia tidak tega memberikan anaknya untuk dimangsa Buto Ijo.

Lantas berkunjunglah Mbok Rondho bersama Timun Emas kepada seorang pertapa di Gunung Gundul. Oleh pertapa tersebut Timun Emas diberi empat macam senjata penolak bala, yaitu jarum, biji timun, garam, dan secuil terasi. Pertapa itu berpesan apabila Buto Ijo mengejar, senjata tersebut supaya dilemparkan satu per satu.

Tiba saatnya Buto Ijo menagih janji. Walaupun Mbok Rondho dan Timun Emas memohon agar keinginan tersebut dibatalkan, tetapi Buto Ijo tidak bisa mengendalikan kerakusannya. Apalagi setelah melihat tubuh Timun Emas yang semloheh....

Timun Emas melarikan diri sambil melemparkan jarum. Maka, muncullah hutan dengan pepohonan yang lebat. Buto Ijo pun membabati hu- tan tersebut sampai bisa mendekati Timun Emas. Dalam keadaan terpepet, Timun Emas melempar biji timun. Maka, jadilah ladang timun yang subur dengan batangnya yang melingkar-lingkar. Buto Ijo dengan mudahnya membabati tanaman tersebut.

Begitu Buto Ijo berhasil mendekat, Timun Emas melem- par garam. Maka jadilah laut. Buto Ijo bisa menyeberangi laut itu dan hampir saja menangkap Timun Emas. Dalam situasi gawat, Timun Emas melempar terasi dan jadilah danau lumpur. Danau lumpur tersebut sema- kin meluas dan menenggelamkan Buto Ijo.

Cerita ini ditafsirkan bagaimana rakyat menghadapi sistem kapitalisme raksasa. Sosok Mbok Rondho sebagai kiasan rakyat yang melarat. Timun Emas adalah kiasan dari kekayaan harta benda. Bermaksud mendapatkan kekayaan, rakyat datang kepada kekuatan kapitalisme yang dikiaskan dengan Buto Ijo. Buto atau raksasa itu biasanya bersifat jahat, tamak, rakus, dan mentalan. Dari situ pula lahir penafsiran sistem ijon.

Kapitalisme tidak pernah memberikan suatu dengan gratis, apalagi yang bersifat sedekah. Tidak peduli terhadap kemanusiaan. Selalu hanya pertimbangan mendapat keuntungan yang lebih besar dari apa yang diinvestasikan atau pura-pura disedekahkan.

Untuk mereguk Timun Emas atau kekayaan, kapitalisme akan menerjang apa saja biarpun ladang pertanian, hutan, ataupun lautan. Namun, pada akhirnya keserakahan, kerakusan, ketakaburan kapitalisme raksasa pada akhirnya akan ditenggelamkan bumi.

Cerita Timun Emas sarat ajaran bahwa manusia tidak boleh rakus, serakah. Kalau memberikan pertolongan, berikan dengan ikhlas tanpa pamrih. Kejahatan kemanusiaan akan membuat bumi murka.

Entah bagaimana asal muasalnya, cerita Timun Emas yang merupakan penggalan dari Cerita Panji ini lantas dikaitkan dengan peristiwa lumpur Lapindo. Menurut ”tafsir othak-athik mathuk” tadi, lokasi semburan ini berada di bekas istana Kerajaan Jenggala abad XI lalu.

”Di situ banyak ditemukan benda-benda arkeologis, seperti batu berundak, umpak, meja batu yang konon tempat duduk raja. Ada juga kolam untuk pemandian keluarga kerajaan. Tetapi, semuanya sudah tenggelam oleh lumpur,” kata M Mirdasy, warga Desa Siring yang juga terkena dampak langsung lumpur.

Kemudian, sekitar 800 me- ter meter sebelah timur pusat semburan terdapat Desa Banjar Panji.

”Banjar Panji berarti ada deretan rumah para panji atau bangsawan, atau bisa juga komandan militer. Sangat masuk akal apabila pusat semburan tersebut memang istana, sedangkan permukiman kalangan Panji di Desa Banjar Panji sekarang. Apalagi juga banyak bukti arkeologis lain yang menguatkan adanya pusat pemerintahan Jenggala di situ, seperti Candi Pari. Ada juga Kelurahan Candi yang mungkin sekali di situ dulunya tempat candi,” kata Dwi Cahyono, arkeolog Universitas Negeri Malang.

Untuk mendukung tafsir ”othak-athik mathuk” itu ditambahkan terasi adalah produksi ikon Sidoarjo. Garam yang jadi laut, sekitar 5 kilometer dari semburan, adalah Laut Jawa. Gunung Gundul ditafsirkan dengan Gunung Watukosek yang terletak di selatan semburan.

Jadi dalam tafsir ”othak-athik mathuk” itu disampaikan bahwa peristiwa lumpur Lapindo tersebut sebenarnya sudah diramalkan akan terjadi, termasuk segala nilai yang ada di dalamnya, baik nilai kemanusiaan, perjuangan, cinta, kejahatan, keserakahan, ketakaburan, dan tragedi mud volcano itu....

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com