Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Selamatkan Gaharu dan Cendana NTT

Kompas.com - 07/09/2010, 04:09 WIB

Kupang, Kompas - Perlu upaya serius untuk memulihkan keberadaan gaharu dan cendana. Dua jenis pohon beraroma harum dan berharga mahal itu sudah langka di Nusa Tenggara Timur.

Hal itu disampaikan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Soenarno dan peneliti utama I Komang Surata di Kupang, Senin (6/9). Balai penelitian ini membawahi seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT).

Gaharu sebenarnya gumpalan padat berwarna coklat kehitaman yang menebarkan aroma khusus jika dibakar. Gumpalan itu terbentuk akibat terinfeksi sejenis jamur dan telah melewati proses kimiawi. Gumpalan biasanya terdapat di batang atau akar pohon tertentu, seperti jenis Gyrinops di NTT. Gyrinops adalah satu dari 25 jenis pohon penghasil gaharu di Indonesia.

”Sebenarnya gumpalan hitam itu yang disebut gaharu. Namun, masyarakat menamakan pohon penghasilnya sebagai pohon gaharu,” kata Soenarno.

Gaharu Gyrinops diketahui pernah tumbuh merata di sejumlah pulau di NTT, seperti Sumba, Timor, Alor, dan Flores. Namun, pohon Gyrinops kini sudah sulit ditemui di NTT. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan dipastikan dari budidaya secara sporadis oleh masyarakat, seperti di Wulanggitang (Flores Timur), Lera (Sikka), Labuan Bajo (Manggarai Barat), dan Jawapogo (Nagekeo).

Belum diketahui secara pasti populasi Gyrinops yang tersisa di NTT, termasuk Flores yang dilaporkan pernah menjadi penghasil utama komoditas berharga hingga Rp 30 juta per kilogram itu. Kelangkaan gaharu terjadi akibat eksploitasi secara tidak terkendali tahun 1990-an.

”Pemerintah daerah perlu memberikan insentif bagi warga yang berniat serius membudidayakan gaharu,” kata Soenarno.

Menurut Komang Surata, membudidayakan gaharu relatif lebih mudah daripada cendana. Dengan perkembangan teknologi, jamur pembentuk gaharu bisa disuntikkan saat tanaman berusia enam tahun. Tiga tahun kemudian, gaharu bisa dipanen dengan kualitas dan harga jual tidak jauh berbeda dari gaharu alami.

Sebaliknya, budidaya cendana tergolong sulit karena hanya hidup di daerah gersang. ”Cendana bisa hidup di kawasan kaya humus, tetapi usianya pendek dan tidak menghasilkan aroma khas cendana,” kata Soenarno.

Cendana juga pernah tumbuh merata di NTT. Kehancuran cendana disebabkan oleh monopoli pemerintah yang mewajibkan masyarakat untuk memelihara cendana tanpa imbalan jasa. Masyarakat terancam hukuman badan jika melalaikan kewajiban. Belakangan monopoli dicabut melalui Perda NTT Nomor 2 Tahun 1999. Cendana menjadi milik masyarakat. Namun, masyarakat telanjur trauma. (ANS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com