Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Celah Tanggung Jawab Yuridis KBS

Kompas.com - 24/08/2010, 16:28 WIB

Oleh Mochamad Toha

Peristiwa kematian satwa koleksi di Kebun Binatang Surabaya secara beruntun akhir-akhir ini jelas menarik perhatian. Menyedihkan! Nyaris hampir setiap hari satwa koleksi mati satu per satu. Selasa (17/8) malam, seekor bayi rusa bawean yang baru berumur 2 hari ditemukan tewas oleh pegawai KBS. Rahang bayi rusa bawean itu terluka parah, seperti digerogoti predator.

Drh Liang Kaspe, Kepala Tim Dokter Kehewanan Kebun Binatang Surabaya (KBS), mengaku bahwa bayi rusa bawean tersebut belum sempat mendapat perawatan setelah dilahirkan karena perlakuannya tidak mudah. Jika salah dalam memberikan perlakuan, ibu rusa bisa stres dan menginjak-injak anaknya sendiri sampai mati. Atas peristiwa itu, Liang Kaspe mengaku heran mengapa keeper yang mengetahui pertama kali kematian bayi rusa bawean malah meletakkan bangkainya di bagian klinik dan karantina lantas menghubungi jurnalis tentang kematian itu tanpa melapor ke manajemen KBS.

Dalam kurun waktu 6 bulan tersebut terjadi 160 kematian satwa, sementara kelahiran atau penetasan satwa mencapai 60 ekor. Kematian satwa dalam 6 bulan terakhir, menurut Liang Kaspe, dikategorikan dalam beberapa penyebab, antara lain lahir dalam keadaan mati, mendapat gangguan dari satwa lebih besar di komunitasnya, dan berusia sudah tua. Ia mencontohkan, singa afrika dan harimau sumatera mati dikarenakan usia mereka masing-masing mencapai 17 tahun dan 20 tahun. Padahal, usia maksimal rata-rata satwa itu antara 15 tahun hingga 19 tahun.

Selain itu, kematian satwa di KBS juga disebabkan kecelakaan dan perkelahian. Kepala Record Data Konservasi KBS Anthan Warsito menyebutkan, jumlahnya mencapai 20 kasus per bulan.

Untuk angka reproduksi di KBS, tutur Anthan, beberapa spesies tertentu mempunyai angka repro-duksi cukup menggembirakan. Dus, mengapa jumlah kematian tetap lebih besar dari kelahiran? Menurut Liang Kaspe, reproduksi pada satwa liar di KBS bisa dirancang dengan sistem penangkaran (breeding), lain halnya dengan kematian yang memang alami.

"Andaikan breeding kami genjot, lalu akan dipelihara di mana satwa-satwa baru itu? Lahan kami hanya 15 hektar, sangat terbatas. Saat ini sekitar 4.000 satwa yang kami konservasi. Apabila angka kelahiran melonjak, harus dipikirkan juga mereka akan diletakkan di mana," ucap Liang Kaspe.

Konflik berkepanjangan

Apakah kematian satwa-satwa ini berkaitan dengan konflik di KBS? Jika disimak dari pernyataan Wali Kota Surabaya Bambang DH, jelas sekali bahwa matinya satwa-satwa di KBS berkaitan dengan konflik berkepanjangan soal pengelolaan KBS. Bambang pun berkirim surat penegasan ke Kementerian Kehutanan mengenai konflik pengelolaan KBS dan banyaknya satwa mati.

"Konflik itu terjadi pada orang-orang yang mengurus KBS," kata Liang Kaspe. Persoalan KBS telah menarik perhatian Gubernur Jatim Soekarwo. Ia meminta Perkumpulan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI) mengambil langkah cepat menyelamatkan satwa di KBS. Pengelolaannya saja yang harus dibenahi. Pakar hukum lingkungan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Suparto Wijoyo, mendesak secara yuridis dilakukan proses hukum dengan meminta pertanggungjawaban hukum kepada manajemen atas kasus ini. Suparto pernah menjadi mediator KBS dalam menyelesaikan konflik kepengurusan di KBS.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com