Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seksualitas, Ruang Negosiasi Terakhir

Kompas.com - 14/08/2010, 17:49 WIB

KOMPAS.com - Setelah persoalan kebutuhan praktis dan strategis menyangkut kesetaraan di tempat kerja, pendidikan, dan upah dibicarakan di ruang publik dan dilindungi melalui hukum, ruang yang kini diperebutkan adalah seksualitas.

Lokakarya dialog kebijakan internasional bertema ”Menjembatani Kesenjangan Penelitian Seksualitas dan Advokasi Hak-hak Seksual” di Yogyakarta, Senin dan Selasa lalu, mengungkap, di berbagai negara kini tengah terjadi tarik-menarik pendefinisian seksualitas oleh berbagai pihak dan kepentingan. Lokakarya diadakan Kartini Asia Network, Sephis (Program Pertukaran Selatan-Selatan untuk Riset dalam Sejarah Pembangunan), dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada dengan dukungan Ford Foundation.

Meskipun berada pada ranah pribadi, tetapi seksualitas dapat menjadi persoalan ketika hadir di ruang publik dan berhadapan dengan fundamentalisme, konservatisme, globalisasi, pembangunan, dan negara.

Pengalaman dari India, Indonesia, dan negara-negara berbudaya Arab memperlihatkan kesamaan, seksualitas merupakan bentukan sosial.

Penelitian Universitas Surabaya terhadap kelompok lesbian di Surabaya, seperti disampaikan Siti Mazdafiah, mengungkap kekerasan terhadap peserta pertemuan internasional Asosiasi Lesbian dan Gay Internasional di kota itu, Maret 2010, membuat sejumlah lesbian memilih tak membuka diri dan bahkan ada yang berasa berdosa. Pendidikan agama yang menekankan norma heteroseksual sebagai satu-satunya pilihan, walaupun dalam teks keagamaan tidak disebut soal hubungan sejenis, menurut Siti, menyebabkan pilihan di luar hubungan biner lelaki dan perempuan sebagai salah.

Penelitian Nitya Vasudevan dari India terhadap ruang publik dan seksualitas memperlihatkan, selalu terjadi ketegangan antara ruang privat dan ruang publik menyangkut seksualitas dan modernitas. Larangan terhadap penari bar, misalnya, bukan karena tubuh atau tariannya, tetapi karena berada di ruang publik. Dengan begitu, pengatasnamaan larangan itu demi mempertahankan kebudayaan bangsa sebenarnya merupakan negosiasi terus-menerus antara ruang publik dan pribadi yang terpisah.

Belajar dari sejarah
Tujuan lokakarya, seperti dikatakan Marina de Regt dari Sephis, antara lain mencari perspektif sejarah seksualitas untuk memahami isu kontemporer. Lokakarya juga berupaya menjembatani antara dunia penelitian dan aktivisme. Sementara menurut Vasudevan, dunia aktivisme merespons krisis, dunia akademis/penelitian hampir tidak pernah merespons krisis.

Karena itu, Ratna Batara Munti dari LBH APIK Jakarta yang bergerak dalam aktivisme merasa berkepentingan bagaimana wacana dalam penelitian dapat bermanfaat bagi aktivisme. Dia mencontohkan pengalaman saat mengadvokasi hak-hak reproduksi untuk UU Kesehatan Tahun 2009.

Upaya memastikan hak reproduksi diberikan kepada setiap orang ditolak DPR dengan membatasi layanan hanya diberikan kepada mereka yang terikat perkawinan sah. ”Lalu, bagaimana dengan yang lajang, janda, dan yang tidak memilih heteronormatif? Saya berharap riset dan dunia akademis bisa membantu dalam situasi seperti ini,” kata Ratna.

Upaya menggali dari sejarah, menurut Tesa de Vella dari Isis International Manila/Mariam College, harus diiringi sikap kritis karena kebanyakan negara Selatan pernah mengalami penjajahan Barat, muncul perasaan apa yang asli selalu lebih baik daripada Barat.

Dalam kenyataan, yang asli tidak serta-merta adil bagi perempuan, seperti temuan penelitian Iman Al-Ghifari dari Siria dan Hardik Brata Biswas dari India. Al-Ghifari melalui kajian sejarah menemukan, ada pengalaman asli yang memberi ruang bagi seksualitas perempuan yang relatif setara, seperti tokoh sufi Rabi’ah Al-Adawiyya yang sangat dihormati meski tak menikah dengan laki-laki karena memilih ”mencinta Sang Pencipta”. Di sisi lain, sejak dulu seksualitas selalu ditentukan tafsir para pemuka agama (laki-laki).

Negosiasi
Kepala PSKK Prof Dr Muhadjir Darwin MPA menyebut, seksualitas adalah hal penting dan kompleks. Pemahaman tentang seksualitas tidak dapat dilakukan dengan mendikotomikan laki-laki dan perempuan karena seksualitas nyatanya beragam. David Hulse dari Ford Foundation menyebut, seksualitas dipengaruhi situasi politik, ekonomi, dan sosial. Definisi UU Pornografi yang memasukkan suara dan gerak tubuh sebagai pornografi adalah keputusan politik, begitu juga penolakan pemerintah terhadap pendidikan seks di sekolah.

Dalam konteks Indonesia, negosiasi tersebut kini di bawah bayang-bayang konservatisme mengatasnamakan agama dan negara bersikap pasif. Tak kurang dari 154 peraturan dan kebijakan daerah, menurut kajian Komnas Perempuan, mendiskriminasi perempuan, antara lain melalui seksualitasnya. Wujudnya mulai dari pengaturan cara berpakaian hingga kriminalisasi gerak-gerik yang dianggap mencurigakan dengan definisi sepihak. Kekerasan mengatasnamakan agama juga marak, seperti pembongkaran paksa patung Tiga Mojang di Bekasi oleh sekelompok orang.

Sementara pengertian seksualitas sendiri tak mudah didefinisikan untuk mewakili semua kepentingan dan kekhasan perempuan, terbangun pemahaman bersama bahwa penelitian bidang seksualitas adalah proses yang lama yang tidak dapat segera menjawab kebutuhan aktivis, tetapi kajian diperlukan untuk membantu advokasi kebijakan oleh aktivis.

(Ninuk M Pambudy/Maria Hartiningsih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com