Jakarta, Kompas -
Menurut Nuh di Jakarta, Selasa (13/7), MOS semestinya dimanfaatkan untuk penyesuaian atau menyempurnakan proses adaptasi siswa di tempat yang baru. Siswa diperkenalkan pada tradisi atau nilai-nilai positif proses belajar dan mengajar di sekolah tersebut. ”Karena itu, tidak selayaknya MOS diisi dengan kegiatan perpeloncoan yang bertentangan dengan pendidikan karakter,” kata Nuh.
Kepala sekolah selaku penanggung jawab proses belajar dan mengajar di sekolah, tutur Nuh, harus mengawasi betul pelaksanaan MOS. Pihaknya tidak segan-segan menindak tegas kepala sekolah yang membiarkan pelanggaran di institusi pendidikan.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Bimbingan Konseling Indonesia M Dimyati mengatakan, pihak sekolah seharusnya mengontrol peran siswa senior terhadap siswa baru. Namun kenyataannya, peran pengawasan ini lemah. Terbukti banyak MOS diisi dengan kegiatan-kegiatan yang tidak jelas tujuan dan nilai edukasinya. Contohnya, memakai atribut yang aneh-aneh ke sekolah, rambut dikucir banyak, dan tugas-tugas lainnya. ”Hal seperti itu nilai edukasinya apa?” kata Dimyati.
Di Kupang, Nusa Tenggara Timur, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Nusa Tenggara Timur Yoseph Aman Mamulak melarang MOS diisi dengan kekerasan. ”Kekerasan di awal masa pendidikan akan melahirkan kekerasan baru,” ujarnya.
Di Surabaya, Dinas Pendidikan Kota Surabaya menurunkan tim untuk memantau pelaksanaan MOS dan mencegah dilakukannya kekerasan selama MOS berlangsung. (LUK/KOR)