Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hendrik, Maestro Musik Bambu

Kompas.com - 15/06/2010, 09:22 WIB

Hobinya bermain musik tak berhenti meski tahun 1975 Hendrik mengikuti orangtua yang pindah dari Boroko ke Desa Lemoh. Justru di tempat tinggal barunya ini tekad dia semakin kuat untuk menjadi seniman.

Bersama kelompok musiknya, ia rajin berlatih. Sebagai ketua grup, Hendrik-lah yang menyemangati rekan-rekannya berlatih. Seiring berjalannya waktu, undangan untuk bermain di desa-desa tetangga pun mengalir.

Grup ini mulai tenar di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, mereka sampai bermain di Jakarta pada 1991. ”Pengalaman di Jakarta menjadi bagian penting dari karier saya.”

Awal dari kritik

Obsesi Hendrik membuat sendiri alat musik bambu, berawal dari ”sentilan” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (kala itu Fuad Hassan) saat menonton pertunjukan mereka. Fuad Hassan mengkritik dia, katanya, kelompok Hendrik belum bisa disebut kelompok musik bambu tradisional. Alasannya, alat musik yang digunakan, seperti saksofon, klarinet, dan cello, terbuat dari kuningan, bukan bambu.

Oleh karena itulah, sepulang dari Jakarta, Hendrik berupaya membuat alat musik dari bambu. Ini tak mudah. Ia harus mencari bambu yang layak, memotong batang bambu, dan merekatkannya dengan lem kayu, lalu melubanginya hingga keluar nada yang sama dengan alat musik biasa. Setelah tiga bulan mencoba, dia baru berhasil.

”Suara yang keluar (dari alat musik bambu) tidak pecah. Ini seperti alat musik berbahan kuningan,” katanya bangga.

Dengan tuntasnya pembuatan alat musik itu, kelompok musiknya murni menjadi grup musik bambu. Semua alat musik yang dimainkan 30 anggota grupnya terbuat dari bambu. Selanjutnya, Hendrik pun melatih teman-temannya memainkan alat-alat musik itu.

Tahun 1995 ia bersama kelompok musiknya, Nada Satria, mengikuti festival internasional di Bali. Mereka mewakili Indonesia berkompetisi dengan kelompok musik dari 24 negara. Mereka berhasil menjadi juara pertama.

Pamor Hendrik pun meroket. Undangan untuk bermain di kota-kota besar di Indonesia, hingga ke luar negeri seperti Beijing, China, berdatangan.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com