Demikian menurut sebuah organisasi pengawas lingkungan, Selasa (11/5) di Phnom Penh. Kamboja, negara yang miskin, telah menjadi sumber baru pasir yang digunakan untuk proyek-proyek perluasan wilayah Singapura. Ini terjadi setelah beberapa negara Asia Tenggara lain—termasuk Malaysia, Indonesia, dan Vietnam—melarang ekspor pasir.
Singapura telah meningkatkan luas daratan 20 persen dalam beberapa dekade terakhir dengan menciptakan kawasan tepi laut yang baru dan mahal.
Kelompok pengawas lingkungan Global Witness yang berpusat di London mengkritik Singapura atas praktik itu. Kelompok ini mengatakan, negara kota pulau yang kaya itu pada saat bersamaan memperlihatkan diri sebagai pemimpin regional dalam hal isu lingkungan.
”Kegagalan Singapura mengurangi biaya sosial dan lingkungan akibat pengerukan pasir merupakan kemunafikan dalam skala besar,” kata Global Witness.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen tahun lalu mengumumkan sebuah larangan menyeluruh atas ekspor pasir. Larangan terjadi setelah muncul berbagai protes. Namun, penyidikan Global Witness mengatakan, Kamboja terus memasok Singapura dengan puluhan ribu ton pasir yang dikeruk dari sungai-sungai dan muara-muara sungai sepanjang garis pantai yang ringkih.
Ekspor dari salah satu provinsi di Kamboja saja diperkirakan bernilai 248 juta dollar AS per tahun.
Undang-undang Kamboja mengenai pasir sebenarnya telah melarang pasir sungai untuk diekspor. Akan tetapi, Global Witness menemukan bahwa baik pasir laut maupun pasir sungai telah diekspor, justru sejak undang-undang itu diberlakukan.
Kementerian Pembangunan Nasional Singapura mengatakan, impor pasir dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang berdasarkan hukum ”tidak melanggar peraturan lingkungan atau undang-undang di negara-negara sumber pasir.”