Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Persaudaraan dari Woloklaus

Kompas.com - 11/05/2010, 08:08 WIB

Guna menopang hidup sehari-hari, banyak di antara mereka bekerja sebagai penggarap lahan kebun di desa tetangga atau sekadar membantu membersihkan rumah dan pekarangan mereka yang berpunya. Menjadi tukang kayu dan tukang batu juga dilakoni eks penderita lepra ini.

Ismael Laode (46), eks penderita lepra asal Buton, Sulawesi Tenggara, mengaku berbahagia dan sangat menikmati sisa hidupnya di Desa Woloklaus. Meski hanya bekerja sebagai pembantu di kediaman Isabela Dias Gonsales, ia pun bisa menyekolahkan dua putranya sampai SMA. Semua keluarganya dalam kondisi sehat tanpa mengalami kesulitan yang berarti.

Suami dari Mery Blikololong ini merasa penderitaan lepra yang menimpa sebagian besar warga Woloklaus telah membawa berkah baru, yakni kebinekaan yang mempersatukan mereka. Meski berasal dari suku yang berbeda, mereka selalu hidup rukun dan bersaudara.

Mama Gonsales

Orang yang paling dikenang sekaligus dihormati para eks penderita lepra di Woloklaus tak lain adalah Isabela Dias Gonsales, yang sehari-hari mereka panggil "mama". Selain merawat mereka, Isabela Dias Gonsales adalah pendiri permukiman itu.

"Tahun 1960-an, lepra masih dianggap penyakit kutukan. Tak ada obatnya dan sulit disembuhkan. Saat itu, kami membangun rumah sakit lepra dan berhasil menyembuhkan banyak orang dari sejumlah wilayah di Indonesia," kenang Isabela.

Satu-satunya rumah sakit lepra di daratan Flores, Lembata, dan Alor adalah Rumah Sakit Lepra Santo Damian Lewoleba, Lembata. Rumah sakit milik Keuskupan Larantuka ini berdiri sejak tahun 1965, menampung ratusan orang dari sejumlah daerah di Indonesia.

Kesohoran rumah sakit tersebut tersebar dari mulut ke mulut para eks pasien lepra yang berobat di sana hingga sembuh dan pulang ke kampung asal mereka. Informasi mengenai rumah sakit lepra di Lewoleba juga disampaikan melalui jaringan gereja di sejumlah daerah.

Setelah berobat enam bulan sampai dua tahun dan dinyatakan bebas dari bakteri yang disebut Mycobacterium leprae, mereka diizinkan pulang ke kampung halaman. Namun, setelah tiba di daerah asal, banyak di antara eks penderita kusta yang telah kehilangan sebagian anggota tubuhnya itu ternyata tidak diterima warga desa asalnya.

"Mereka sangat tertekan, kemudian lari, kembali ke Lewoleba. Rumah saya sampai dipenuhi oleh eks pasien lepra. Makin hari makin padat," tutur Isabela.

Mereka yang terdiri atas pria dan wanita dewasa ini pun ada yang jatuh cinta satu sama lain, atau dengan warga sekitar. Mengingat penghuninya makin lama makin banyak, Isabela pun mencarikan pendonor dari Jerman untuk membangun permukiman khusus bagi eks penderita lepra ini. Alhasil, tahun 1984, permukiman Woloklaus pun dibangun.

Tak terasa, Desa Woloklaus kini sudah berusia lebih dari seperempat abad. Permukiman ini bukan hanya memberi ketenteraman hidup bagi para penderita eks lepra, tetapi juga mengisyaratkan sebuah pesan persaudaraan bagi kita semua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com