Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Leuwigajah Tolak Pengaktifan TPA

Kompas.com - 24/02/2010, 14:31 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Rencana pengaktifan kembali Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah yang terletak di tiga wilayah, yaitu Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi, ditolak warga setempat. Mereka mengkhawatirkan tragedi longsor yang menimpa 150 warga pada 2005 terulang jika TPA itu kembali diaktifkan.

Dadang Hermawan, aktivis lingkungan yang juga perwakilan warga, menjelaskan, ketakutan warga beralasan. Sebab, rencana aktivasi TPA Leuwigajah belum disertai dengan perencanaan yang matang.

"Bekas longsoran tahun 2005 saja sampai saat ini masih terhampar begitu saja dan belum dibersihkan kembali oleh pemerintah. Jika TPA Leuwigajah mau diaktifkan kembali, jelas warga masih waswas peristiwa lima tahun itu terulang," ungkapnya, Selasa (23/2) di Bandung.

Peristiwa sampah longsor di Leuwigajah tahun 2005, lanjut Dadang, adalah bencana ekologis di Jawa Barat yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Pemerintah daerah diharapkan bijak dengan tidak terburu-buru mengaktifkan kembali TPA sebelum ada kajian yang cermat. "Sampah longsor adalah bentuk bencana ekologis, bahkan ini adalah tragedi. Jangan sampai hal ini terulang," katanya.

Penolakan warga Leuwigajah juga merupakan akumulasi dari ketidakpercayaan mereka terhadap perencanaan pemda dalam pengelolaan sampah. Warga banyak berkaca dari pengelolaan sampah di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat. Awalnya TPA Sarimukti dijanjikan sebagai lahan pengolahan kompos. "Namun, akhirnya Sarimukti justru jadi TPA yang sifatnya sanitary landfill atau pembuangan sampah dengan penimbunan," katanya.

Dadang berpendapat, pemda sudah seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan. Dalam UU itu setiap komunitas diminta mengelola sampah secara komunal. Pengelolaan secara komunal itu diharapkan bisa mengurangi penumpukan sampah pada satu tempat. Upaya pengelolaan sampah komunal tersebut, antara lain, diterapkan di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi.

Kompos mandiri

Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan, pengelolaan kompos mandiri di Kota Bandung harus mendapatkan perhatian dari pemerintah kota. Setiap rumah, lanjutnya, bisa membuat composter sendiri dari bata. "Pembuatannya pun sederhana, yakni hanya dengan menyediakan sisa terasi atau tapai. Bahan-bahan itu bisa dijadikan pemicu kompos di rumah tangga," katanya.

Ia mencatat, beban sampah di Kota Bandung mencapai 2.000 ton. Sekitar 60 persen merupakan sampah organik yang bisa dikelola dengan kompos mandiri. "Sebanyak 40 persen sisanya adalah sampah plastik yang jumlahnya bisa dikendalikan dengan menghentikan penggunaan plastik," ujarnya. (REK)

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com