Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IMLEK DAN KEHARMONISAN "BABAH-ABAH"

Kompas.com - 13/02/2010, 14:52 WIB

Oleh Ibn Ghifarie

Diakui atau tidak, akulturasi antara etnis Tionghoa dan Sunda adalah kegairahan yang tak pernah usai. Itu karena kedua keturunan ini menyakini sekaligus mewujud pada sosok Sunan Gunung Djati. Apalagi, saat Syarif Hidayatullah (Ki Sunda) menikahi Putri Ong Tin Nio (China). Sungguh keharmonisan di antara kedua golongan ini tak terpisahkan lagi.

Ini terlihat dari sajian makanan (Babah ke Abah) seperti capcay, somay (siomay). Kehadiran kain samping (sarung) dan ritual menabur bunga rampe setiap Jumat pun melekat pada kehidupan keturunan China di Parahyangan ini.

Soeria Disastra, budayawan Tionghoa, mengakui, warga Tionghoa yang lahir dan besar di Bandung pada umumnya memiliki dua bahasa ibu (Tionghoa dan Sunda). "Kebudayaan Sunda dan Tionghoa saling memengaruhi."

Kini, warga keturunan Tionghoa dapat hidup berdampingan dalam suasana aman, damai, dan toleran dengan urang Sunda kendati harus rela berdesak-desakan.

Jejak

Kehadiran Imlek 2561 yang jatuh pada 14 Februari 2010 diharapkan menjadi momentum awal dalam menjaga keharmonisan antaretnis sekaligus membangun kerukunan di Tatar Sunda ini.

Paling tidak ada beberapa kedamaian yang telah mendarah daging pada aktivitas keseharian Tionghoa-Sunda, di antaranya pertama, pecinan atau perkampungan China. Menurut Kuncen Bandung, Haryoto Kunto, dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung saat meletus Perang Diponegoro (1825). Setiba di Bandung, mereka tinggal (menetap dan mencari nafkah) di Kampung Suniaraja dan Jalan Pecinan lama.

Tahun 1885 mereka mulai menyebar ke Jalan Kelenteng. Tahun 1905 pecinan berkembang pesat di sekitar Pasar Baru. Kios jamu Babah Kuya milik Tan Sioe How di Jalan Belakang Pasar (1910) merupakan salah satu perintis toko (dagangan) di kawasan ini. Tahun 1914 mereka di Citepus. Pascatragedi Bandung Lautan Api (1946) warga Tionghoa mengungsi ke kawasan Tegallega, Kosambi, Sudirman, dan Cimindi.

Ingat, setiap pecinan dipimpin oleh wijkmeester. Kawasan Suniaraja dipimpin Thung Pek Koey dan Citepus oleh Tan Nyim Coy. Setiap wijkmeester dipimpin seorang luitennant der chineeschen. Tan Djoen Liong adalah luitennant-nya urang Bandung (H Buning, 1914). Hingga kini daerah pecinan di Bandung semakin luas meliputi Jalan Pasar Baru, Jalan ABC, Jalan Banceuy, Jalan Gardu Jati, Jalan Cibadak, dan Jalan Pecinan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com