Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ragam Karbohidrat Maluku

Kompas.com - 26/11/2009, 11:25 WIB

Minggu lalu, di Solo, dalam rangka ulang tahun ke-50 PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk. (TPS), saya diundang ikut talkshow yang disiarkan di televisi. Pokok bahasannya adalah tentang ketahanan dan diversifikasi pangan. Dalam hal ini, TPS memang punya sejarah yang panjang. Pada awalnya, 50 tahun yang silam, Tan Pia Sioe – Sang Pendiri – memproduksi bihun dari tepung jagung. Ini adalah terobosan penting, mengingat bihun biasanya dibuat dari tepung beras.

Tradisi membuat bihun dari bahan non-beras ternyata memang cukup umum di sekitar Solo-Yogyakarta. Di Yogya, misalnya, dikenal mi lethek, yaitu bihun yang dibuat dari bahan gaplek (singkong yang dikeringkan). Sampai sekarang mi lethek masih diproduksi di sekitar Bantul, dengan cara yang sangat tradisional – yaitu memakai sapi untuk menggerakkan batu besar penghalus tepung. Di masa lalu, untuk mencetak bihunnya dipakai alat pres yang dibebani 4-5 orang bergelantungan pada balok besar. Proses ini disebut “munyuk-munyukan” karena mereka mirip monyet-monyet yang bergelantungan.

Saat ini, TPS melanjutkan tradisi Sang Pendiri dengan mengembangkan usaha di bidang mocaf (modified cassava flour, modifikasi tepung singkong) sebagai bahan makanan pokok non-beras. Sekarang, produk bihun dan mi TPS sudah dicampur dengan sekitar 30% mocaf, untuk mengurangi ketergantungan pada terigu yang harus diimpor. Di masa dekat ini, bila sudah dipasarkan secara luas, mocaf dapat dipakai untuk membuat berbagai kue kering maupun kue basah. Saya sudah mencicipi brownies dari mocaf yang rasanya tidak beda dari brownies tepung terigu.

Sepanjang pengalaman saya, dalam soal diversifikasi dan ketahanan pangan, Kepulauan Maluku merupakan contoh terbaik di Nusantara. Di warung-warung makan khas Maluku, selalu tersedia kasbi (singkong) rebus, ubi jalar rebus, keladi (talas) rebus, dan pisang rebus. Semuanya ini bukanlah kudapan atau jajanan, melainkan makanan pokok sebagai layaknya orang Jawa atau Sumatra makan nasi.

Salah satu rumah makan yang masih menyajikan makanan Maluku secara tradisional adalah RM Paradise di Jalan Paradise Tengah, Ambon. Di rumah makan ini, jarang sekali orang memesan nasi sebagai karbohidrat. Lauk yang cocok untuk karbohidrat ini adalah kohu-kohu (semacam urap di Jawa, tetapi dicampur dengan ikan puri atau semacam teri mentah), tumis jantung pisang, tumis pare, tumis bunga pepaya, dan sambal trasi. Tentu saja, ikan bakar menjadi protein yang cocok untuk sajian tradisional ini. Di RM Paradise, ikan bakar yang populer adalah ikan lema – semacam ikan kembung, tetapi lebih besar. Dagingnya lebih lembut dan manis dibanding ikan kembung. Bila saya tidak salah identifikasi, ikan jenis ini disebut sebagai ikan oci di Sulawesi Utara.

Kasbi juga biasanya disajikan dengan kelapa sisik (kelapa setengah tua yang diiris tipis panjang). Kelapa yang gurih ini menambah kenikmatan makan kasbi. Diperlukan acquired taste untuk dapat makan singkong rebus, keladi rebus, ubi rebus, dan pisang rebus sebagai pengganti nasi. Namun, percayalah, begitu Anda menemukan kenikmatannya, pengalaman makan ini sungguh tak akan terlupakan.

Sagu

Selain umbi-umbian, bahan makanan pokok di Kepulauan Maluku adalah sagu. Di pasar, kita selalu melihat sagu manta (sagu mentah) yang dijual dalam keranjang daun dalam ukuran sekitar sepuluh kilogram. Ada juga yang sudah dipotong-potong menjadi ukuran setengah-kiloan untuk memudahkan pembelian.

Sagu manta biasanya dipakai untuk membuat papeda. Bagi yang belum mengenalnya, papeda atau bubur sagu ini benar-benar mirip sepiring lem untuk menempelkan wallpaper ke dinding. Buburnya tawar – tidak ada rasanya. Karena itu, papeda harus dimakan dengan kuah yang sangat kaya citarasanya, misalnya: ikan kuah asam – yaitu semacam sup ikan dengan citarasa asam.

Ada dua macam ikan kuah asam: bening dan kuning. Yang kuning tentu saja memakai kunyit, ditambah kemiri. Untuk menciptakan rasa asam, biasanya dipakai blimbing sayur atau blimbing wuluh, dan lemon cina (lemon cui dalam bahasa Manado, semacam jeruk nipis yang isinya kuning-jingga dan beraroma harum).

Tetapi, di Tulehu, sekitar satu jam di Utara Ambon, saya temukan sebuah warung sederhana dengan kuah asam kuning agak kental yang sangat lezat. Ternyata, di warung ini dipakai asam mawe – yaitu buah yang dikeringkan dan menciptakan rasa asam yang cantik. Bagi saya, ikan kuah asam kuning yang dimasak dengan asam mawe adalah yang paling mak nyuss. Ternyata, menurut keterangan yang saya peroleh, asam mawe kebanyakan digunakan sebagai bumbu oleh kaum Muslim di Maluku.

Sagu juga menjadi bahan pangan pokok di Maluku dalam bentuk lain. Tepung sagu kering dilembabkan dengan sedikit arang, lalu dibakar dalam cetakan dari tanah liat, sehingga membentuk balok-balok kecil. Setelah dimasak, sagu kering ini dapat tahan berbulan-bulan. Teksturnya sangat keras, dan bila dimakan begitu saja dapat mengakibatkan gigi rontok.

Sagu dimakan dengan cara melembabkannya terlebih dulu. Bisa dimakan sebagai cemilan, dicocolkan ke dalam kopi panas atau teh panas, lalu dimakan. Dengan cara yang sama, sagu kering dicocolkan ke dalam masakan berkuah – misalnya: ikan kuah asam – agar lunak, dan kemudian dimakan.

Sagu juga dipakai sebagai bahan untuk membuat berbagai macam kudapan atau jajanan. Beberapa jajanan sagu yang mulai langka di Maluku adalah bubur ne dan sagu gula.

Bubur ne dibuat dari sagu yang berbentuk bulatan kecil-kecil berwarna putih, merah muda, atau merah.  Bulatan sagu ini dimasak dalam santan sampai empuk, kemudian dicampur dengan gula merah, daun pandan, dan kayu manis. Di Maluku, jangan pernah menyebut gula merah sebagai gula jawa. Gula merah dari kelapa banyak diproduksi di Saparua, karenanya dikenal dengan sebutan gula saparua.

Bubur ne adalah pencuci mulut (dessert) populer bila disajikan dengan es. Bila disajikan panas, biasanya dihidangkan bersama sagu. Lagi-lagi, sagu dicelup ke dalam bubur ne panas supaya lunak, dan menjadi snack yang mengenyangkan.

Ada lagi jajanan yang kian langka, yaitu kue sagu gula. Cara membuatnya mirip dengan membuat sagu kering dalam cetakan tanah liat yang dibakar di atas bara. Bedanya, sagu dicampur parutan kelapa, lalu di tengahnya diisi gula saparua. Karena dicampur parutan kelapa, hasilnya adalah kue yang setengah kering – tidak keras seperti sagu. Saya suka sekali kue sagu gula ini. Top markotop!

Kue dari sagu yang lain adalah bagea kenari. Teksturnya keras seperti sagu, sehingga harus dilembabkan dulu dengan mencelupkannya ke dalam teh panas atau kopi panas. Tetapi, sekarang sudah banyak penjual kue yang membuat bagea kenari renyah, sehingga dapat langsung dimakan tanpa harus dilembabkan di dalam minuman panas.

Suami

Di Ambon juga banyak perantau dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, yang memopulerkan jenis karbohidrat yang lain, yaitu suami. Entah kenapa makanan yang satu ini disebut suami. Tidak seorang pun dapat menjelaskannnya kepada saya.

Suami adalah karbohidrat substitusi nasi yang dibuat dari singkong parut kemudian dikukus dalam bentuk kerucut, dibungkus dalam daun pisang. Karena kandungan pati yang tinggi, setelah dikukus, parutan singkong ini bertekstur padat, pulen, dan liat. Harus dicubit sedikit demi sedikit agar dapat disuap bersama lauk-pauk pendamping.

Snack populer di Maluku adalah sukun goreng. Ketika berkunjung ke Ambon bersama crew Wisata Kuliner TransTV belum lama ini, kami sampai berkali-kali singgah ke Rumah Kopi Joas karena kami semua “kecantol” sukun gorengnya yang istimewa. Lagi-lagi, snack non-beras yang lezat. Siapa bilang kita tidak dapat hidup tanpa nasi atau beras?

Mari katong, ronda-ronda ke Ambon Manise!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com