Orang-orang Rohingya ini dipaksa berjejalan masuk dalam perahu. Satu perahu bisa diisi oleh lebih dari 200 orang. ”Kami tak leluasa di dalam perahu. Tak ada ruang yang tersisa. Bahkan, untuk bisa berdiri, harus bergiliran karena kami duduk berdesak-desakan,” ujar Rahmat.
Oleh aparat Thailand, perahu-perahu yang berisi orang Rohingya itu diikat berjejer satu sama lain. Ikatan ini bisa mencapai empat perahu. Setelah perahu-perahu terikat, mereka ditarik menggunakan kapal milik aparat berwenang Thailand dan berlayar ke tengah lautan. Sebelumnya, orang-orang Rohingya ini hanya dibekali sedikit nasi dan seliter air per orang.
Rahmat menuturkan, kapal Thailand ini menarik perahu yang ditumpangi orang Rohingnya selama tiga hari ke tengah laut. Berlayar sejauh mungkin dari wilayah Thailand dan membiarkan orang-orang Rohingya menjadi masalah buat negara-negara lain tempat mereka terdampar.
Saat diberi tahu kemungkinan Pemerintah Indonesia mengembalikan mereka ke negeri asalnya, Rahmat langsung terdiam. Dia memelas karena penderitaan 22 hari meregang nyawa di laut seolah tak berarti apa-apa. Dia berpikir, jika dulu manusia perahu Vietnam diberi tempat penampungan layak di Pulau Galang dan diperhatikan UNHCR, mereka pun semestinya layak mendapatkannya.
Mereka percaya saudaranya sesama Muslim di negeri lain akan memperlakukan mereka lebih manusiawi.
”Penduduk merasa iba, mereka seolah ikut mengalami penderitaan orang Rohingya,” kata Camat Idi Rayeuk Irfan Kamal. (bil/fro)