Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir dan Kebangkrutan Air

Kompas.com - 04/02/2009, 20:41 WIB

Oleh Ninok Leksono

Hari-hari ini, salah satu berita yang menonjol adalah bencana banjir. Bengawan Solo yang meluap merendam kota-kota yang dilaluinya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Inilah fenomena yang sebenarnya telah ada bersama kita sejak bertahun-tahun silam.

Dari pengalaman ini, salah satu hal yang melegakan adalah bahwa sebenarnya musim masih berjalan normal-normal saja, ditandai oleh meningkatnya curah hujan pada bulan Januari dan Februari. Yang bisa dicermati lebih lanjut mungkin intensitas hujan itu sendiri, yang diyakini terkait dengan munculnya gejala perubahan iklim akibat pemanasan global.

Pengalaman manusia dengan air secara umum bisa dibagi dalam dua ekstrem. Yang pertama adalah masa kerepotan karena dihantam oleh air dalam jumlah besar, apakah itu dalam wujud air bah, banjir besar, atau hantaman gelombang besar tsunami seperti yang terjadi di Aceh akhir tahun 2004. Yang kedua adalah masa kesusahan akibat kelangkaan air, seperti saat muncul gejala El Nino tahun 1982 yang menyebabkan musim kemarau panjang.

Ke depan, kedua ekstrem itu pula yang akan terus mewarnai kehidupan di Bumi. Di satu sisi, manusia akan mendapat kelebihan air akibat pemanasan global yang akan melelehkan es di kutub dan di puncak gunung. Laporan terakhir menyebutkan, sebagian selimut es di Pegunungan Himalaya dan Tibet akan lenyap pada tahun 2100 dengan tingkat pelelehan yang ada sekarang ini, dan itu akan memberi air bagi 2 miliar penduduk dunia.

Pada sisi lain, laporan yang terbaru juga menyebutkan bahwa manusia akan dilanda kelangkaan air parah karena air disebut akan bangkrut, tidak ada lagi. Tentunya di sini yang dimaksud adalah air yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dan bisa diperoleh secara ekonomis.

Dari Davos

Laporan baru yang dimaksud disampaikan Jumat di Forum Ekonomi Dunia (WEF) yang berlangsung di Davos, Swiss, 28 Januari–1 Februari 2009. Penyebab kebangkrutan air adalah tingginya kebutuhan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia. Kelangkaan air ini, dalam 20 tahun mendatang, akan menyebabkan hilangnya tanaman pangan sebanyak yang bisa dihasilkan oleh India dan Amerika Serikat.

Ini tentu memprihatinkan karena justru dalam beberapa tahun ke depan kebutuhan pangan akan melonjak drastis. Menurut laporan yang dimuat kantor berita AFP ini, di masa depan dunia tidak akan bisa lagi mengelola air dengan cara yang sama seperti pada masa lalu.

Yang bisa jadi berbeda adalah persepsi mengenai harga air. Laporan dari Davos menyebut di sejumlah tempat di dunia air dijual terlalu murah dan banyak yang dihambur-hamburkan. Padahal, mungkin warga di sekitar Tanjung Priok menganggap air yang mereka beli sekarang ini pun sudah mahal.

Akibat dijual murah dan digunakan berlebihan, di banyak tempat selama sekitar 50 tahun terakhir ini terjadi bubble (gelembung) air—meminjam istilah ekonomi—dan dikhawatirkan akan diikuti dengan kebangkrutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com