Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Tirakat Malam di Kompleks Troloyo

Kompas.com - 31/12/2008, 03:09 WIB

Oleh: Ingki Rinaldi

Abdul Latif (50) terlihat sumringah usai keluar dari kompleks makam Syekh Syaid Jumadil Kubro yang terdapat dalam Kompleks Makam Troloyo di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto, Senin (29/12) dini hari. Ia yang datang dari Bangkalan, Pulau Madura, baru saja usai bertirakat dalam kompleks makam tersebut.

Malam itu persis hari pertama pergantian tahun 1430 Hijriah, tanggal 1 Muharam. Hari yang juga identik dengan pergantian tanggal 1 Sura 1942 dalam kalender Jawa. "Saya datang ke sini kebetulan saja, tidak ada yang lebih diutamakan (ketimbang tempat lain)," ujar Abdul.

Bersama sejumlah sejawatnya, Abdul Latif lantas meneruskan tirakatnya pada malam itu. Menurut dia, makam kuno Troloyo memang jadi magnet tersendiri bagi sejumlah pengunjung seperti dirinya karena di lokasi itulah kerap digelar pengajian umum.

Khatib (28), salah seorang tenaga pengamanan yang bertugas di areal parkir makam kuno itu, mengatakan, lokasi makam itu memang kerap penuh sesak pada malam-malam tertentu. Paling ramai adalah pada malam Jumat Legi atau Kamis Kliwon.

Saat itu antrean pengunjung bisa tercipta. Puluhan mobil bisa diparkir hingga berjam-jam, nyaris persis seperti malam 1 Sura itu. Walaupun sebetulnya pada peringatan malam 1 Sura kemarin tidak seberapa banyak pengunjung yang datang.

Makam kuno Troloyo, berdasarkan catatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim, sebelumnya adalah tempat peristirahatan bagi para pedagang Muslim yang datang untuk menyebarkan ajaran Islam kepada Prabu Brawijaya V dan para pengikutnya. Keberadaan makam kuno Islam ini adalah bukti bahwa sejak zaman Majapahit telah hidup komunitas Muslim di dalam jantung Kerajaan Majapahit.

Berdasarkan penelitian oleh L Ch Damais hingga pakar arkeologi Islam seperti Uka Tjandrasasmita dan Hasan Muarif Ambary, tidak ada penamaan di nisan seperti yang sekarang dipercaya masyarakat. Hanya satu makam yang bertuliskan nama Zayn ud-Din di tahun 874 Hijriah atau 1469 Masehi. Belum dikenal

Masyarakat meyakini kompleks makam itu sebagai makam Syekh Jumadil Kubro, Syekh Abdul Qodir Jailani Sini, Syekh Maulana Skah, dan Syekh Maulana Ibrahim. Selain itu, juga makam Walisongo, makam Sunan Ngudung, makam Putri Kencono Wungu, dan Anjasmoro. Selain makam tujuh yang berisi tujuh buah makam.

Tak jauh dari situ, terdapat Pendapa Agung yang sering dijadikan lokasi menggelar ritual dan pentas kesenian. Pada bagian belakang Pendapa Agung yang terdapat sejumlah makam kuno, puluhan orang tengah menunggu giliran masuk ke dalam makam yang dilingkupi bangunan dan dipercaya sebagai makam raja-raja Majapahit.

Padahal, kata Suroto, juru kunci makam tersebut, pengertian makam sebagai kuburan jenazah sebetulnya belum dikenal pada zaman Majapahit. Menurut Suroto, makam itu hanya sekadar representasi belaka dari jejak kesejarahan raja-raja Majapahit.

Maka, ia pun menganggap ritual yang dilakukan dengan tujuan untuk meminta sesuatu dari makam tersebut bukan sesuatu yang bagus. "Keberadaan para peziarah di sini itu hanya dua alasan, pertama mereka bermunajat dengan menumpang tempat di sini. Kedua, mengingat dan merenungkan leluhur, karena jika (ingin) lebih dari itu maka tidak bagus," ujar Suroto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com