Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Terompet Masyarakat ke Medayu Agung

Kompas.com - 15/10/2008, 21:01 WIB

Sumbangan dari para donatur hanya beberapa juta rupiah. Oei pun tidak segan merogoh kocek sendiri untuk menutup biaya yang diperlukan.

Jadi wartawan

Setamat SMA, Oei mulai mengikuti kursus jurnalistik jarak jauh dari Oesaha Modern di Bandung dan Pro Patria Yogyakarta. Kursus
stenografi dan kursus jurnalistik lisan di Koran Terompet Masjarakat, salah satu harian terkemuka di Surabaya, juga dilakoni. Di bawah bimbingan Pemimpin Redaksi Terompet Masjarakat Mana Adinda dan Amak Yunus, Oei belajar menjadi wartawan.

Dari kursus itu, datanglah tawaran untuk menjadi pembantu wartawan di Terompet Masjarakat yang berkantor di Gedung Brantas, Jalan Pahlawan, Surabaya. Beberapa tahun di Surabaya, Oei kemudian ditugaskan menjadi wartawan di Malang.

Menjadi wartawan sangat menyenangkan bagi Oei. Sebab, buku, majalah, dan koran menjadi lebih mudah dia peroleh. Koleksinya
bertambah dengan cepat. Namun, perubahan politik setelah Gerakan 30 September 1965 membalikkan semuanya.

Terompet Masjarakat yang dianggap pro-Soekarno diberedel. Pemiliknya, Goie Poo An, ditangkap, kemudian dibunuh. Tidak terkecuali Oei Hiem Hwie. Dia ditangkap tentara dari Kodim Malang. Koran serta koleksi buku di rumahnya di Jalan Klojen Kidul, Malang (sekarang Jalan Arismunandar) dirampas. Hanya sebagian koleksi Oei yang sempat diselamatkan saudara-saudaranya.

Petualangan dari penjara ke penjara pun dimulainya. Oei mulai menginap di Kamp Batu selama setahun, kemudian dia dipindahkan ke LP Lowokwaru, Malang, lalu ke Penjara Koblen, dan Penjara Kalisosok, Surabaya. Pada tahun 1970, tujuh hari setelah Bung Karno meninggal, Oei dibawa ke Nusakambangan dan beberapa bulan kemudian ia dipindahkan lagi ke Pulau Buru.

Membantu Pramoedya

Di Pulau Buru, Oei bertemu dengan maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Kebersamaan dengan Pram selama di Pulau Buru sangat berkesan bagi Oei. Dia mengingat Pram sebagai sosok yang memang sangat tekun menulis.

Novel tetralogi Pram, yang diawali dengan Bumi Manusia, juga sangat berarti untuk Oei. Sebab, dia ikut membantu Pram dalam mencari referensi dalam penulisan novel sejarah itu. Bahkan, catatan berisi tulisan tangan Pram serta draf pertama Bumi Manusia ada di Perpustakaan Medayu Agung. Tidak hanya itu, dua jilid draf Ensiklopedi Citrawi Indonesia juga tersimpan rapi di perpustakaan ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com