Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Manfaatkan Soeharto Sakit? (1)

Kompas.com - 19/01/2008, 01:56 WIB

LAPORAN WARTAWAN SURYA, JUNIANTO SETYADI

RAIBNYA Wiji Thukul masih menjadi misteri. Lelaki itu hilang di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Bagaimana kehidupan keluarga Wiji hukul? Mengapa keluarga Wiji tak setuju dengan aksi demo yang menuntut Soeharto diadili? Berikut hasil liputan wartawan Surya yang ditulis dengan menggunakan gaya bertutur. 

GADIS berusia 19 tahun itu menerima  kedatangan saya di sebuah rumah sangat sederhana di Kampung Kalangan,Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres, Solo, Jateng,
Jumat (18/1) siang.

Dialah Fitri Nganthi Wani, sulung dari Wiji Thukul, penyair-demonstran yang hilang sejak zaman Orde Baru (Orba). Wani, panggilan mahasiswi semester dua Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, tersebut tampak santai. Sambil menjelaskan bahwa sang ibu, Dyah Sujirah alias Sipon, masih belanja sayur di pasar.

Tak lama, datang Sipon menenteng belanjaan. Setelah meletakkan belanjaan di bagian belakang rumahnya,Sipon menuju ruang tamu, menemui saya. Bagi Sipon, saya bukan orang baru, karena saya memang telah mengenal Sipon dan Thukul sejak sebelum reformasi, alias sejak era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Saat itu, keluarga dengan dua anak tersebut –-anak bungsu mereka bernama Fajar Merah, kini berusia 15 tahun--  terkenal di kalangan tertentu di Solo. Betapa tidak. Tatkala banyak orang memilih tiarap ketika berhadapan dengan penguasa Orba, Thukul justru rajin ikut berunjukrasa di berbagai tempat di Solo dan sekitarnya.

Bahkan puisi karya Thukul tahun 1986, "Peringatan", waktu itu selalu dikutip dan diteriakkan oleh para demonstran. "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam/kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan!”

Sampai kini pun kalimat "Hanya ada satu kata : lawan!" kadang-kadang masih dikutip para demonstran. Tindak kekerasan aparat keamanan terhadap para pengunjukrasa kala itu tak menyurutkan nyali Thukul. Padahal, dia berkali-kali menjadi korban kekerasan aparat, antara lain cedera mata kiri saat ikut aksi di depan pabrik tekstil PT Sritex Sukoharjo, 1995.

Sritex disebut-sebut ikut dimiliki oleh Harmoko, yang kala itu menjabat Menteri Penerangan. Diduga karena militansinya sebagai seorang demonstran, Thukul yang aktivis Partai  Rakyat Demokratik (PRD) ini akhirnya hilang.

Sampai sekarang memang belum pernah ditemukan bukti bahwa dia meninggal, tetapi banyak orang yakin pria kurus kelahiran Kampung Sorogenen, Jagalan, 26 Agustus 1963, itu telah 'lewat'. Kontak terakhir dengan sang istri melalui telepon, Februari 1998, dan kontak fisik dengan temannya, Sunarso di, Tangerang, Maret 1998, Thukul tak pernah muncul lagi.

Berbagai pihak menduga Thukul dihabisi oleh sebuah kelompok saat Soeharto belum lengser, pada era Orba. Sang istri, Sipon, juga tak mengesampingkan dugaan itu. Meski begitu, wanita berpostur gemuk berusia 41 tahun ini tak mau ikut-ikutan memanfaatkan momen sakit parah Soeharto untuk menuntut pertanggungjawaban mantan presiden tersebut atas hilangnya Thukul. Karena itulah, Sipon kepada saya menyatakan menolak, misalnya diajak orang ikut  unjuk rasa menuntut proses hukum Soeharto dituntaskan. 

“Saya bukannya tidak setuju proses hukum Soeharto diselesaikan. Yang saya tidak setujui adalah caranya. Jika menggunakan aksi untuk menyampaikan tuntutan itu,
mengapa dilakukan sekarang? Mengapa memanfaatkan waktu saat Soeharto sakit?” kritiknya.

Di sela perbincangan kami, seorang remaja pria masuk rumah. Remaja bertubuh tinggi ini tak lain Fajar Merah, anak bungsu pasangan Thukul-Sipon. Siswa kelas II SMPN 20 Solo tersebut menggelendot manja kepada ibunya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com