JEO - News

Memahami Pemilih
dengan Gangguan Jiwa
dan Penyandang
Disabilitas

Senin, 15 April 2019 | 07:58 WIB

emilih berkebutuhan khusus perlu perhatian yang juga khusus dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. Jenis disabilitas yang berbeda membutuhkan perlakuan yang berbeda pula.

Dua hal yang paling menarik perhatian adalah pemilih dengan gangguan jiwa dan pemilih tunanetra. Dengan keterbatasan yang dimiliki, bagaimana pemilih berkebutuhan khusus menentukan pilihan politiknya?

RABU, 20 Maret 2019, sekitar pukul 09.00 WIB, seorang lelaki berbaju hijau terlihat masih meringkuk dan tertidur di bangku panjang yang ada di dalam sebuah bangsal. Dia tampak tak terganggu dengan suasana cukup ramai di sekitarnya. 

Tak jauh dari bangku panjang itu terlihat lelaki lain, yang juga berbaju hijau, berbicara dengan kalimat-kalimat yang sulit dimengerti. Bahasa yang diucapkan pun tak bisa ditangkap dengan jelas.

Lawan bicara lelaki itu merupakan seorang dokter perempuan, terlihat dari baju putih khas yang dikenakannya. 

Sementara satu orang lagi, juga berbaju hijau, duduk di bangku panjang lain, di bangsal yang sama. Tatapan mata lelaki itu kosong, memandangi orang-orang di dalam bangsal atau yang berlalu lalang di sepanjang koridor di luarnya.

Masih di ruangan yang sama, hanya berbatas pintu besi, satu orang berbaju hijau lain terlihat memanggil seseorang, entah di mana. Dia bertanya, "kapan mobilnya jalan?".

Padahal, di bangsal itu tak terlihat satu pun mobil terparkir. Seorang perempuan berbaju putih-putih menjawab.

"Iya sebentar, kamu ingin naik mobil kan," kata perempuan yang adalah perawat di bangsal perawatan Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Arif Zainudin di Surakarta, Jawa Tengah.

Tampak depan RSJD Surakarta
KOMPAS.com/LUTHFIA AYU AZANELLA
Tampak depan RSJD Surakarta

Suasana itu merupakan pemandangan sehari-hari di RSJ Daerah Surakarta yang menampung pasien dengan gangguan jiwa. Namun, bangsal perawatan ini hanya ditempati pasien yang memang masih membutuhkan perawatan khusus.

"Ya begini keadaan pasien yang masih akut, mereka masih 'bingung'," kata dr Aliyah Himawati Rizkiyani, SpKJ, dokter di RSJ Daerah Surakarta.

Polemik

Sorotan terhadap pasien atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) muncul menjelang Pemilu 2019. Sebab, berdasarkan Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 Tahun 2018, warga negara yang mengalami gangguan kejiwaan diperkenankan memberikan suaranya dalam pemilu pada 17 April 2019.

KPU mendasarkan aturan itu sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini mengatur bahwa penyandang disabilitas mental dapat memilih selama memenuhi syarat.

Polemik terkait hak pilih ODGJ mengemuka, sebab anggapan umum masyarakat terhadap ODGJ adalah seperti para pasien yang ada di bangsal perawatan tersebut. 

Murjioko menjelaskan berbagai hal terkait pemilu pada acara sosialisasi di RSJD Surakarta, Jumat (12/4/2019).
KOMPAS.com/LUTHFIA AYU AZANELLA
Murjioko menjelaskan berbagai hal terkait pemilu pada acara sosialisasi di RSJD Surakarta, Jumat (12/4/2019).

Padahal, tak sembarang ODGJ memiliki kesempatan dan diberikan haknya untuk mencoblos dalam Pemilu 2019. ODGJ dengan kondisi fisik dan mental yang tidak memungkinkan, seperti gambaran di atas, belum tentu memiliki hak pilih.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada pernah mengatur bahwa mereka yang didata sebagai pemilih adalah yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah, kecuali mereka dicabut hak pilihnya dan mengalami gangguan jiwa atau ingatan.

Namun, setelah itu ada uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Pilkada yang membatalkan pencabutan hak pilih penyandang disabilitas mental. Hasil uji materi itu tertuang dalam putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015.

Mengacu pada putusan MK itu, KPU akhirnya memasukkan penyandang gangguan jiwa dan ingatan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, tentu saja tak semua orang yang memiliki gangguan jiwa dan ingatan.

MK sudah memberikan batasannya, sebagai berikut:

"Seandainya yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang bahwa orang yang dikecualikan dari pencatatan pemilih adalah orang dengan psikosis (gila), yang memiliki ciri antara lain hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial, bahkan tidak menyadari keberadaan dirinya sendiri, hal demikian menurut Mahkamah tidak perlu diatur secara khusus karena orang dengan psikosis demikian telah pasti, dengan penalaran yang wajar, tidak akan didaftar oleh petugas pencatat pemilih karena orang dengan psikosis demikian memang tidak memiliki keinginan untuk mengikuti pemungutan suara."

Putusan MK itu dapat dilihat dalam tautan ini.

DUA PERSYARATAN

SETIDAKNYA, terdapat dua aspek utama yang harus dipenuhi seorang penderita gangguan jiwa untuk bisa menjadi pemilih. Dua aspek itu adalah faktor kesiapan mental dan terpenuhinya identitas kependudukan.

Aliyah Himawati menceritakan cara tim dokter di rumah sakit melakukan seleksi dan pemeriksaan mendalam hingga akhirnya surat keterangan "izin memilih" dari dapat dikeluarkan.

Pasien di RSJD Surakarta menuju tempat sosialisasi pemilu, diantar oleh petugas, beberapa waktu lalu.
KOMPAS.com/LUTHFIA AYU AZANELLA
Pasien di RSJD Surakarta menuju tempat sosialisasi pemilu, diantar oleh petugas, beberapa waktu lalu.

Pasien akan mendapatkan pemeriksaan dari para ahli dengan sejumlah tahapan tertentu.

"Pemeriksaan (atas kondisi) mentalnya. Dia sudah bisa belum berpikir secara rasional, seperti itu. Syaratnya itu. Kalau dia sudah bisa, kami bolehkan ikut. Ada semacam kuesionernya," ujar Aliyah, sembari berjalan di salah satu koridor rumah sakit.

Selain kuesioner, para pasien juga akan diwawancara secara khusus sebagai tahapan selanjutnya.

"Nanti kami kan bisa melihat, kalau memang dia dalam perjalanan sakitnya itu memang tidak bisa ke arah situ (sehat dan mampu), ya tidak kami beri. Jadi yang memungkinkan, misalnya yang sudah di bangsal tenang," tutur Aliyah.

Dengan demikian, pasien dengan kondisi tidak memungkinkan tidak akan menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mendapatkan hak suara.

Staf Humas RSJ Daerah Surakarta, Totok Hardiyanto mengatakan, selain rekomendasi dokter, ada syarat lain yang diminta oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar seseorang yang pernah atau masih mengalami gangguan jiwa bisa menjadi pemilih dalam gelaran pemilu. Syarat itu adalah kelengkapan dokumen kependudukan.

"Syaratnya KPU kan harus punya KTP. Sejak itu, nanti didata KTP sama NIK (para pasien)," kata Totok.

Hal ini berkaitan pula dengan asal daerah pasien yang akan menentukan kertas suara yang akan diberikan di hari-H.

Dijamin netral

Setelah mendapatkan surat keterangan "mampu" dari dokter, tidak serta-merta menjadikan para pasien ini lepas dari pengawasan, khususnya terkait sosialisasi.

Suara mereka pun dijamin bebas dari intervensi pihak lain, baik petugas rumah sakit, maupun calon yang menjadi peserta pemilu.

"Tidak ada pengarahan, (saat sosialisasi) ada KPU juga, didampingi," kata Totok.

Ia memastikan pihak rumah sakit dan segenap petugas yang ada di dalamnya tidak akan memberikan pengaruh atau informasi apa pun yang mengarah pada satu nama tertentu.

"(Pengaruh) misalnya kita keluar, di kampung foto ketemu sama mereka (caleg) terus menandakan (kepada pasien)  'ini paslon A', itu kena, dapat sanksi berat sampai ke pemecatan sanksinya," ujar Totok. 

Kepala Humas RSJD Soerakarta, Totok Hardiyanto
KOMPAS.com/LUTHFIA AYU AZANELA
Kepala Humas RSJD Soerakarta, Totok Hardiyanto

Petugas hanya memberikan sosialisasi tentang cara pencoblosan yang benar sehingga suara mereka akan terhitung sah.

Selain itu, saat pemungutan suara, para pemilih ini tidak akan didampingi sampai ke dalam bilik suara. Mereka hanya akan diantarkan dari bilik perawatan ke TPS berada.

Kemungkinan adanya kampanye terselubung di RSJ juga sangat tidak memungkinkan karena beberapa alasan. Misalnya, batasan komunikasi dengan pasien dan waktu perawatan yang singkat.

"(Caleg kampanye terselubung) pasti enggak boleh. Dan percuma, karena pasien kami kan paling lama 30 hari (dirawat). Dia mau sosialisasi sekarang, ya yang nyoblos sudah ganti," kata Totok.

Penyalahgunaan atau penggelembungan suara pun tidak akan terjadi karena pendataan yang telah dilakukan oleh KPU Kota Surakarta. Dari data tersebut sudah diklasifikasi siapa saja yang berhak memilih untuk DPR dan DPRD, karena tidak semua pasien yang dirawat berasal dari dalam Kota Surakarta.

Merasa dilibatkan

Ketika ditanya tentang respons para pasien yang dinyatakan bisa mengikuti pemilu, Totok menyebut mereka sangat antusias dan merasa senang.

"Senang, karena mereka dianggap, bukan berarti didiskriminasi. Ya senang," kata Totok.

Hal yang sama disampaikan oleh salah satu aktivis Komunitas Peduli Skizofrenia (KPSI) Solo Raya, Agus Sila Santosa.

“Teman-teman orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga pada senang karena keberadaannya sekarang diakui, tidak dipandang sebelah mata," ujar Agus.

Skizofrenia adalah istilah lain untuk menyebut gangguan mental berkepanjangan yang menyebabkan halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku pada penderitanya. Penyakit ini dapat ditangani dengan konsumsi obat-obatan tertentu secara rutin.

Agus sendiri sudah terdeteksi sebagai "orang dengan Skizofrenia (ODS)" sejak 1992 dan hingga saat ini Agus sudah kerap terlibat dalam pemilu sebagai pemilih.

UPAYA TUNANETRA TETAP "MELEK" POLITIK

BAGI Agatha Febriany (30), pemilihan umum bukanlah hal yang asing meski dia memiliki keterbatasan penglihatan.

Agatha bercerita, dia pernah turut serta dalam Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Wali Kota Solo pada 2018.

Saat pencoblosan, ia merasa tidak mengalami kesulitan yang berarti. Sebagai seorang tunanetra, dia berhak memiliki pendamping saat berada di tempat pemungutan suara.

Saat Pilkada Kota Solo 2018, misalnya, pendamping itu menemaninya mengambil surat suara dari Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS). Setelah itu, mereka berdua menuju kotak suara.

Percaya pendamping

Dalam pemilihan sebelumnya, para tunanetra memang memiliki pilihan, apakah dibantu pendamping dalam melakukan pencoblosan atau mencoblos secara mandiri di kotak suara.

Pemilihan mandiri dapat dilakukan jika panitia menyediakan surat suara dengan template huruf Braille. Selain itu, pemilih tunanetra yang mengalami gangguan penglihatan low vision juga masih dapat melakukan pemilihan secara mandiri

Namun, jika pemilih tunanetra belum lancar membaca huruf Braille dan bukan penderita low vision, pendamping yang akan membantu saat pencoblosan.

Penyandang tunanetra, Imelda Raini Safitri (kanan) dituntun relawan usai menggunakan hak suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Utara di TPS 16 di Kantor DPD Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Sumut, Jalan Sampul, Medan, Rabu (27/6/2018). Di TPS 16 ini penyandang tuna netra belum menggunakan surat suara braile, sehingga pemilih harus dibantu oleh relawan TPS atau keluarganya.
ANTARA FOTO/JESSICA HELENA WUYSANG
Penyandang tunanetra, Imelda Raini Safitri (kanan) dituntun relawan usai menggunakan hak suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Utara di TPS 16 di Kantor DPD Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Sumut, Jalan Sampul, Medan, Rabu (27/6/2018). Di TPS 16 ini penyandang tuna netra belum menggunakan surat suara braile, sehingga pemilih harus dibantu oleh relawan TPS atau keluarganya.

Saat Pemilihan Wali Kota Solo 2018, Agatha mencoblos secara mandiri. Kemudian, apa saja yang dilakukan pendamping?

"Dia cuma memastikan sudah benar atau belum lipatannya, atau didampingi sampai ke bilik suara saja," ujar Agatha.

KPU memperkirakan setiap pemilih membutuhkan waktu lima hingga tujuh menit di bilik suara. Umumnya, para tunanetra juga membutuhkan waktu dengan durasi yang sama seperti pemilih pada umumnya.

Akan tetapi, para tunanetra mendapat keleluasaan waktu jika memang mengalami kesulitan. Apalagi, dalam Pemilu Serentak 2019 para pemilih dapat mencoblos lima surat suara, yaitu untuk presiden-wakil presiden, DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD.

Apakah mekanisme yang digunakan dalam Pemilu Serentak 2019 untuk tunanetra akan sama seperti sebelumnya?

Anggota Divisi Perencanaan, Data, dan Informasi Komisi Pemilihan Umum Surakarta, Kajad Pamuji Joko Waskito mengatakan, para tunanetra tetap akan menggunakan dua cara, yaitu secara mandiri serta tetap disertai pendamping.

Mengapa mereka yang bisa melakukannya secara mandiri tetap membutuhkan pendamping? Hal ini disebabkan permasalahan teknis semata. Pemilihan secara mandiri hanya dapat dilakukan untuk pemilihan presiden-wakil presiden dan anggota DPD.

"(Mandiri) untuk memilih surat suara Presiden dan DPD karena sudah disediakan template Braille," ujar Kajad saat ditemui di kantornya, 1 April 2019.

"Sementara untuk surat suara lain, seperti DPR RI, DPR provinsi, dan DPR kota itu aksesnya menggunakan akses pendamping," kata dia.

Lalu, apa jaminannya pendamping itu akan benar-benar memilih sesuai keinginan para tunanetra?

Divisi Bidang Perencanaan, Data dan Informasi KPU Surakarta Kajad Pamuji Joko W di Solo, Jawa Tengah.
KOMPAS.com/LABIB ZAMANI
Divisi Bidang Perencanaan, Data dan Informasi KPU Surakarta Kajad Pamuji Joko W di Solo, Jawa Tengah.

Menurut Kajad, para pendamping yang diturunkan petugas KPPS untuk membantu para penyandang disabilitas harus berpedoman jujur dan adil. Selain harus mencoblos sesuai keinginan tunanetra yang bersangkutan, pendamping juga harus merahasiakan pilihan mereka.  

"Sebelum melaksanakan proses pemungutan suara, petugas KPPS atau pendamping itu disumpah," ujar Kajad.

"Pendamping itu harus sesuai apa yang jadi pilihan pemilih tunanetra tersebut, tidak boleh berbohong, tidak boleh mengutarakan atau menyebarluaskan pilihan tunanetra tersebut," kata dia.

Ia mengungkapkan, pendamping ini bisa dipilih oleh penyandang tunanetra. Misalnya, anggota keluarga. Jika tidak ada, barulah pendamping akan diberikan KPPS.

Tentunya proses ini dilakukan agar pemilu berjalan lebih cepat dan memudahkan para tunanetra.

UPAYA MENGENAL KANDIDAT

AGATHA mengatakan, selama ini komunitas tunanetra cukup mendapatkan banyak bantuan dalam memahami mekanisme pemilu, termasuk Pemilu 2019. 

Selama ini, menurut dia, KPU terbilang rajin melakukan sosialisasi kepada penyandang disabilitas, termasuk komunitas tunanetra. Selain itu, ada juga Relawan Demokrasi (Relasi) berbasis difabel yang memberikan pemahaman mengenai pemilu.

Dalam sosialisasi itu, baik KPU atau anggota Relasi menjelaskan bagaimana tata cara memilih, sehingga penyandang disabilitas dapat menyalurkan hak pilihnya. Motivasi juga diberikan anggota Relasi agar penyandang disabilitas tidak golput. 

Sosialisasi dilakukan pula secara teknis. Misalnya, menurut penuturan Agatha, para anggota Relasi pernah membawa replika surat suara Braille untuk diperkenalkan, terutama kepada pemilih pemula yang penyandang disabilitas netra.

Agatha Febriany (30) bersama anaknya Leon saat ditemui di rumahnya pada Rabu (3/4/2019).
KOMPAS.com/RETIA KARTIKA DEWI
Agatha Febriany (30) bersama anaknya Leon saat ditemui di rumahnya pada Rabu (3/4/2019).

Bermacam sosialisasi ini cukup memudahkan para tunanetra, sehingga mereka tidak merasa ada kesulitan besar dalam memahami pemilu.

"Kalau kesulitan besar itu belum. Soalnya kan dalam waktu dekat ini sosialisasi kepada difabel sudah lumayan gencar, jadinya belum ada kesulitan yang berarti," ujar istri dari Ahmad Halim Yulianto.

Kesulitan terbesar para tunanetra, menurut Agatha, justru menentukan pilihan, kepada siapa suara mereka harus diberikan.

Meski ia memiliki keterbatasan atau berbeda dari orang biasa, Agatha tidak menyerah dalam menggali informasi mengenai siapa kandidat yang akan dipilihnya ketika saat pencoblosan tiba.

Lantas, ia pun mencari berbagai sumber informasi melalui beberapa media.

"Kalau informasi caleg itu seperti pemilih yang lain ya, jadi memang temen-temen difabel harus aktif mencari siapa kandidat yang nanti dipilihnya. Jadi memang itu dari radio, dari televisi," ujar Agatha.

Bagi Agatha, ia mendapatkan informasi mengenai caleg yang akan dipilihnya melalui media yang ramah untuk penyandang disabilitas tunanetra.

Selain itu, Agatha menyampaikan bahwa kegiatan-kegiatan difabel cukup sering dilakukan, sehingga ia dengan mudah mendapatkan informasi terkini seputar caleg yang peduli dengan penyandang disabilitas.

"Kalau informasi DPRD yang kampanye itu di televisi juga bisa, sama kalau muncul di media atau ada event difabel yang mereka (caleg DPRD) ikut terlibat," ujar ibu dua anak ini. 

Informasi mengenai kandidat yang akan dipilih tentunya akan memudahkan pemilih dengan disabilitas, terutama menghemat waktu saat di bilik suara.

Calon presiden nomor urut 1, Joko Widodo berjabat tangan dengan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto setelah debat pilpres pertama di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019). Tema debat pilpres pertama yaitu mengangkat isu Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme.
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Calon presiden nomor urut 1, Joko Widodo berjabat tangan dengan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto setelah debat pilpres pertama di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019). Tema debat pilpres pertama yaitu mengangkat isu Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme.

Tak sebatas itu, Agatha juga mengikuti debat pilpres yang diselenggarakan pada 17 Januari, 17 Februari, dan 17 Maret 2019 dengan cara mendengarkan.

"Untuk debat pilpres kemarin, saya mengikuti debat 1, 2, 3. Yang debat 4 enggak, karena ada keperluan waktu itu," ujar dia.

Audiobook

Bagi tunanetra, alat peraga kampanye yang efektif tentu saja yang dapat diterima dengan indera yang dapat mereka gunakan secara optimal.  

Sewaktu kampanye pemilihan Wali Kota Solo, Agatha mengaku sangat terbantu dengan informasi yang disampaikan dalam bentuk audiobook.

Tahun lalu, audiobook yang sangat membantu para tunanetra di Solo dalam memahami pemilihan wali kota berjudul "Solo Ramah Demokrasi".

"Audiobook itu seperti buku cerita biasa. Ada buku demokrasi, itu di-scan, kemudian hasil scan itu muncul di layar, dibacakan oleh aplikasi pembaca layar. Nah, hasil suara (mesin) itu direkam dan dijadikan format MPR," ujar Agatha.

Audiobook berisi seperti apa kondisi saat pemilihan Wali Kota Solo dari tahun ke tahun.

Tak hanya itu, audiobook "Solo Ramah Demokrasi" ini juga mudah untuk dibagikan ke beberapa penyandang difabel.

"Itu sudah pernah di-share di grup WhatsApp Difabel, jadi anggota lainnya juga bisa download lewat unggahan itu," kata dia.

 

SEJUTAAN PEMILIH

AGATHA merupakan satu dari jutaan penyandang disabilitas yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap. Menurut data KPU, dalam DPT Hasil Perbaikan II ada 1.247.730 pemilih yang merupakan penyandang disabilitas.

Dari jumlah itu, KPU membuat lima kategori, yaitu penyandang tunadaksa, tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan disabilitas lainnya.

Data Pemilih Disabilitas di Pemilu 2019 - (KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO)

Penyandang tunadaksa tercatat sebanyak 83.182 orang, sedangkan tunarungu ada 249.546 orang.

Pemilih tunanetra diketahui sebanyak 166.364 orang, sedangkan penyandang tunagrahita dan disabilitas mental berjumlah 332.728 orang. Jumlah penyandang disabilitas lainnya sebanyak 415.910 orang.

Undang-undang sudah memastikan para penyandang disabilitas ini dapat menyalurkan hak pilihnya. KPU dan sejumlah pihak juga sudah melakukan sosialisasi agar pemilu bersejarah dalam demokrasi di Tanah Air tidak menafikan mereka yang berkebutuhan khusus.

Pemilihan umum telah memanggil kita... Selamat menentukan pilihan!