JEO - News

Maskawin,
dari Agama, Budaya,
sampai Yang Unik

Jumat, 19 Juli 2019 | 09:30 WIB

Apa itu sebenarnya mahar atau maskawin? Adakah ketentuan soal nilai dan wujudnya? Seunik apa maskawin yang pernah digunakan dalam pernikahan di Indonesia?

MASKAWIN. Satu kata ini sering jadi dilema buat sejoli yang pengin segera menikah. 

Dilemanya bisa berupa banyak pertanyaan. Haruskah ada? Berapa nilainya? Apa bentuknya?

JEO ini akan mengupas sejumlah perkawinan di Indonesia yang kedapatan menggunakan maskawin unik dalam prosesinya.

Lalu, biar jelas duduk perkaranya, JEO ini akan mengupas pula pengertian dan posisi maskawin dalam prosesi pernikahan.

Karena, praktik maskawin ternyata punya dimensi agama, budaya, dan percampuran di antara keduanya.

 MASKAWIN UNIK 

MASKAWIN yang jamak didengar adalah uang tunai dengan nominal tertentu atau logam mulia. Salah kaprahnya, banyak maskawin berupa seperangkat alat shalat.

Namun, ternyata ada sejumlah perkawinan di Indonesia yang menggunakan maskawin unik. Pengertian unik ini mulai dari wujud hingga filosofinya.

Apa saja contohnya?

 Saham 

Pasangan Dwian Wahyu Prabawa (26) dan Sherly Wijayanti Kumayas (25), bersepakat menikah dengan maskawin berupa saham.

Dua lot saham senilai Rp 1.580.000. Lot adalah satuan pembelian saham di bursa efek.

Saat ini, satu lot adalah satuan untuk menyebut 100 lembar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dulu, satu lot saham berisi 500 lembar saham, hingga akhir 2013. 

Baca juga: Hari Ini, Aturan Baru Lot Saham di BEI Mulai Berlaku

Dwian Wahyu Prabawa (26) dan Sherly Wijayanti Kumayas (25) menunjukkan mahar saham dalam pernikahannya di Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (7/7/2019).
DOK PRIBADI/DWIAN WAHYU PRABAWA
Dwian Wahyu Prabawa (26) dan Sherly Wijayanti Kumayas (25) menunjukkan mahar saham dalam pernikahannya di Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (7/7/2019).

Pasangan asal Banaran, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah ini beralasan, saham bisa digunakan untuk investasi.

"... tabungan yang tidak gampang tergerus inflasi."

"Saham ini merupakan tabungan yang tidak gampang tergerus inflasi," kata Dwian, kepada Kompas.com, Selasa (9/7/2019). 

Dwian dan Sherly pun mengaku tak terpikir pilihan maskawinnya ini akan jadi pembicaraan banyak orang. 

"Kami tidak mengharap bunga. Kami menyimpan uang untuk kebutuhan jangka panjang," lanjut Dwian yang menikahi Sherly pada Minggu (7/7/2019). 

Kalaupun ada niat lain dari pilihan maskawin ini, sambung Dwian, adalah berbagi pengetahuan kepada masyarakat bahwa saham bisa dibeli siapa saja. 

Dwian bertutur, informasi bahwa saham dapat menjadi pilihan maskawin dia dapat dari akun Twitter @IDX_BEI. IDX merupakan kode BEI di pasar internasional, untuk kependekan Indonesia Stock Exchange.

Setelah mencari informasi lebih lanjut, Dwian memberanikan diri membuka rekening tabungan saham untuk menjadi salah satu syarat sah pernikahannya ini.

Tentu saja, sebelum menjadikan saham sebagai maskawin, Dwian telah membicarakan keinginannya itu ke orangtua serta keluarga mempelai wanita.

"Alhamdulillah, mereka juga menerima," ujar Dwian.

 Telur Ayam 

Ragam cerita soal mahar—sebutan lain untuk maskawin—seolah belum cukup unik, ketika bertemu kisah pasangan Agus Riadi (34) Rosiana (31).

Agus, warga Lingkungan Renteng, Kelurahan Renteng, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat ini, meminang Rosiana dengan maskawin tiga butir telur ayam kampung.

Betul, tiga butir telur.

Agus bercerita, pilihan mahar berupa tiga butir telur itu bertujuan melihat kesungguhan calon pasangan hidupnya.

Agus Riadi dan Rosiana di sela acara resepsi pernikahannya, Kamis (27/6/2019)
KOMPAS.com/IDHAM KHALID
Agus Riadi dan Rosiana di sela acara resepsi pernikahannya, Kamis (27/6/2019)

Maskawin ini membuat pernikahan Agus dan Rosiana viral di media sosial. 

Agus pun lalu bertutur jalan panjang menemukan calon istri yang bersedia dipinang dengan mahar pernikahan berupa tiga butir telur. 

Semasa masih bujang, Agus berjanji kepada dirinya tidak akan menikah sebelum menemukan perempuan yang mau dinikahinya mau menikah dengan maskawin tiga butir telur.

"Itu niat saya dari dulu. Kalau belum mendapatkan perempuan yang ingin dimaskawinkan tiga butir telur, saya tidak akan menikah," ungkap Agus ditemui Kompas.com, Kamis (27/6/2019).

Agus bercerita, niatnya soal maskawin tiga butir telur itu membuat dia lama membujang, yang karenanya dia kerap diolok-olok tetangga. 

Tentu saja, sulit mendapatkan perempuan yang mau dinikahi dengan maskawin tiga butir telur. Agus pun mengaku empat pacar gagal dia nikahi karena alasan ini.

"... agar bisa punya anak banyak kayak ayam."

Bukan tanpa alasan juga sebenarnya Agus memilih tiga telur menjadi maskawin. 

"Saya pingin memberikan maskawin kepada istri saya berupa telur ayam kampung ini agar bisa punya anak banyak kayak ayam," ungkap Agus.

Dia berkeyakinan, punya anak banyak akan membawa rezeki yang banyak pula bagi keluarganya kelak. 

Dari tiga butir telur yang menjadi maskawin, dua di antaranya dimakan secara mentah untuk menambah stamina, kesegaran tubuh, dan satu telur lagi akan dieramkan. 

"Dari telur itu kita makan mentah-mentah agar sehat bugar menjalani aktivitas pekerjaan, dan satunya kita eramkan di induk ayamnya" ucap Agus sambil tertawa.

Bersama tiga butir telur itu, Agus memberikan pula maskawin uang tunai Rp 16.000. Nominal ini, ujar dia, merupakan tambahan maskawin yang juga pengingat tanggal mereka "jadian", 16 Februari 2019. 

"Kalau yang Rp 16.000 itu permintaan saya, 16 itu hari jadian kami pada bulan Februari," ungkap Rosiana.

Agus bertemu Rosiana melalui media sosial Facebook. Dari pertemanan, berlanjut makin intens, hingga Agus menyampaikan niat menikahi Rosiana. Di situ, Agus sudah menyebut soal maskawin berupa tiga butir telur tersebut. 

“Waktu saya menawarkan untuk memberikan maskawin 3 butir ayam kampung, dia respons biasa saja, tidak keberatan dengan hal itu," kata Agus.

 Ikrar Sumpah Pemuda 

Serasa masih kurang unik saja kisah-kisah sebelumnya, ada pasangan yang mahar pernikahannya adalah pengucapan ikrar Sumpah Pemuda.  

 

Mereka adalah pasangan Sophi Arifudin (29) dan Suyani (27). Pernikahan mereka digelar di Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Arifudin yang berasal dari Rejowinangun, Kota Gede, Yogyakarta, meminang Suyani yang adalah warga Jatipurno, Wonogiri, Jawa Tengah. 

Ikrar Sumpah Pemuda itu dibacakan di Jogja Expo Center yang menjadi lokasi akad nikah dan resepsi pernikahan mereka. 

"Harapannya, semoga kami jadi keluarga yang sakinah, mawahdah, warrahmah," ucap Arifudin diamini istrinya, Suyani, Jumat (26/10/2018) .

Arifudin mengatakan, ikrar yang menjadi mahar bersama seperangkat alat shalat itu dibacakan dengan tujuan menyebarkan virus nasionalisme sekaligus menanamkan semangat ikrar tersebut dalam kehidupan baru mereka. 

 Secangkir Kopi 

Lain lagi cerita pernikahan Angga Yudistira (33) dan Wastiti Putri SW. Tak kalah unik, mahar yang digunakan adalah secangkir kopi racikan sang mempelai pria.

Mempelai wanita Wastiti Putri sedang meneguk secangkir kopi sebagai mahar pernikahannya dengan Angga Yudistira, Minggu (11/9/2016).
KOMPAS.com/IRA RACHMAWATI
Mempelai wanita Wastiti Putri sedang meneguk secangkir kopi sebagai mahar pernikahannya dengan Angga Yudistira, Minggu (11/9/2016).

Siapa coba yang mengira, minuman teman sarapan pagi atau nongkrong kekinian ini bisa menjadi maskawin pasangan asal Banyuwangi, Jawa Timur tersebut? 

Sebelum akad nikah dimulai, di hadapan penghulu dan tamu undangan, Angga, sang penggantin pria, meracik kopi Arabica campuran Gayo dan Ijen Raung dengan metode cold brew.

Kemudian, setelah akad diucapkan, Angga memberikan secangkir kopi itu kepada istrinya yang langsung diteguk Wastiti Putri.

"Perfect," ucap Angga disambut tepuk tangan meriah tamu undangan, Minggu (11/9/2016).

Wastiti bercerita, dia tidak minta maskawin seperti kebanyakan pengantin lainnya. Ia sengaja memilih kopi karena dia dan suaminya sama-sama hobi minum kopi.

"Harapannya nanti pahit manisnya pernikahan kami akan kami nikmati, juga jujur layaknya kopi."

"Selain itu, kalau diminum kan kopinya jadi satu dengan tubuh. Harapannya ya tidak bisa terpisah sampai tua dan di surga," kata dia. 

Adapun bagi Angga, kopi memiliki filosofi sederhana dan jujur. Menurut dia, kesederhanaan kopi bisa dilihat dari rasa dasarnya yang pahit, sementara jujur dilihat warna kopi yang hitam.

"Walaupun rasanya pahit, kopi masih ada rasa manisnya kok. Warnanya juga hitam lambang kejujuran. Harapannya nanti pahit manisnya pernikahan kami akan kami nikmati, juga jujur layaknya kopi," ungkap Angga.

Untuk mempersiapkan maskawin itu, Angga berusaha belajar meracik kopi kepada Reza, salah satu barista di Banyuwangi.

Menurut pemilik Cafe Minak Kopi tersebut, Angga belajar meracik kopi lebih dari tiga bulan dan lebih intensif lagi tiga hari menjelang pernikahan.

Reza juga sempat kaget ketika Angga mengutarakan niatnya belajar meracik kopi untuk dijadikan sebuah maskawin.

"Saya kaget katanya buat maskawin. Saya pikir guyon," ujar Reza.

Pilihan kopi pun tak sembarangan. Reza mengaku sengaja memilihkan blend Arabica antara biji kopi Gayo Honey dan biji Ijen Raung yang orang kerap menyebutnya kopi Ijen Blue Mountain.

"Ini jenis kopi yang hanya didapatkan setahun sekali dan pohonnya di antara lereng Gunung Ijen dan Gunung Raung," ungkap Reza.

Kopi Ijen Blue Mountain itu butuh waktu satu jam perjalanan menuju perkebunannya untuk dapat dipetik. Soal rasa, ujar Reza, kopi ini dominan manis selain rasa pahit yang melekat. 

 MAHAR
 MENURUT AGAMA, ADAT,
 DAN PERCAMPURANNYA 

MAHAR atau maskawin punya latar yang berbeda. Ada dimensi agama, adat, atau percampuran di antara keduanya.

Berdasarkan agama, sejauh pengetahuan Kompas.com, mahar hanya eksplisit disebutkan dalam ajaran Islam. Soal mahar ini muncul di Al Quran, tepatnya pada QS An-Nisa: 4.

Posisi mahar adalah salah satu syarat sah nikah. Dalam tuntunan operasionalnya, merujuk kitab Fathul Qarib, mahar sangat dianjurkan berupa benda atau jasa yang bernilai.

Tradisi uang panai dalam pernikahan tradisional di Tarakan, Kalimantan Utara. Gambar diambil pada 16 Oktober 2017.
SHUTTERSTOCK/ANTONI HALIM
Tradisi uang panai dalam pernikahan tradisional di Tarakan, Kalimantan Utara. Gambar diambil pada 16 Oktober 2017.

Baca juga: Uang Panai, Tanda Penghargaan untuk Meminang Gadis Bugis-Makassar

Sunah nabi menyebut nilai mahar sekurangnya 10 dirham perak atau 0,25 dinar emas, yang itu dianggap tidak memberatkan. Adapun nilai kurang dari itu dianggap dapat merendahkan perempuan.

Satu dirham perak setara dengan 2,975 gram perak murni. Adapun satu dinar emas setara dengan emas 22 karat seberat 4,25 gram. 

Seperti dikutip dari situs www.nu.or.id, maskawin atau mahar adalah harta yang wajib diserahkan kepada istri dengan sebab akad nikah.

Hukumnya, wajib, meski tidak dinyatakan dalam ijab kabul akad nikah. Kesepakatan yang meniadakan mahar pun oleh para ulama disebut otomatis batal dan maskawin itu tetap menjadi kewajiban.

Situs yang sama menyebut bahwa mahar sebaiknya juga tidak lebih dari 500 dirham. Karena, nilai melebihi itu malah dinilai sebagai bentuk kearoganan dari masing-masing pihak.

 Adat 

Adapun secara adat, di Indonesia diketahui ada banyak ragam dan praktiknya. Sebagai contoh, maskawin dalam perkawinan suku Batak. 

Suku Batak mengenal sinamot, perundingan maskawin oleh kedua keluarga mempelai. Biasanya, maskawin atau mahar dalam prosesi ini ditentukan berdasarkan tingkat edukasi serta status sosial keluarga gadis.

Semakin tinggi tingkatannya, semakin besar pula jumlah maskawin.

Contoh lain mahar berdasarkan adat dapat ditemukan di Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Sumba. Di sini, maskawin disebut dengan belis.

Mengutip harian Kompas edisi 12 Mei 2019, belis biasanya berbentuk hewan ternak, kain tenun, dan perhiasan. 

Jupen (12) tengah menggembalakan kuda di Bukit Persaudaraan, Desa Bukit Persaudaraan, Kecamatan Mauliru, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/5/2019). Kuda menjadi salah satu ternak utama yang dipergunakan sebagai belis atau maskawin di Sumba selain kerbau dan babi. Tradisi belis masih berkembang kuat di daerah ini.
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Jupen (12) tengah menggembalakan kuda di Bukit Persaudaraan, Desa Bukit Persaudaraan, Kecamatan Mauliru, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (2/5/2019). Kuda menjadi salah satu ternak utama yang dipergunakan sebagai belis atau maskawin di Sumba selain kerbau dan babi. Tradisi belis masih berkembang kuat di daerah ini.

Itu sebabnya, hampir setiap keluarga di Sumba Timur memiliki hewan peliharaan, mulai dari kuda, kerbau, babi, sapi, hingga ayam.

Baca juga: Belis, Utang yang Tak Pernah Lunas

Ternak tersebut sebagian besar dipelihara bukan untuk dikonsumsi sendiri, melainkan untuk persiapan, salah satunya jika sewaktu-waktu ada keluarga atau kerabat menikah. 

Belis diberikan dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Di rumah adat Sumba, posisi ruangan kaum perempuan ditempatkan pada bagian rumah paling tinggi daripada kaum pria. Jumlah belis tergantung dari permintaan keluarga mempelai wanita.

Di balik mahalnya pemberian belis, ada nilai kearifan lokal yang selalu mereka jaga. Salah satunya, mencegah perceraian.

Pemberian belis tidak harus dilunasi sepenuhnya pada saat perhelatan pernikahan, tetapi bisa dilanjutkan sesudahnya. Hal yang terpenting adalah komitmen dari pihak pengantin laki-laki untuk memberikan belis dalam jumlah tertentu.

Adapun di banyak suku lain, ketentuan agama dan adat kerap telah melebur. Penerapannya pun bisa terasa longgar atau sebaliknya sangat menantang.

Perkawinan di suku Jawa, Bugis, dan Minang, bolehlah ditengok sebagai contoh bagi yang ingin tahu seperti apa ragam praktik mahar yang telah baur antara adat dan agama.

Jadi, untuk para calon pengantin, urusan maskawin sudah aman?