Salin Artikel

Kisah Wawan Jadi Kuli Panggul Selama 19 Tahun, Tetap Bersyukur meski Hasil Pas-pasan

KOMPAS.com - Gunawan (38) harus menyambung hidup menjadi seorang kuli panggul di sebuah pasar tradisional di Kota Semarang, Jawa Tengah selama 19 tahun.

Bekerja menjadi kuli panggul merupakan satu-satunya harapan bagi pria yang akrab disapa Wawan ini.

Sebab, menurutnya tak ada pilihan lain mengingat sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang.

Berangkat dari keluarga yang kurang mampu, sejak lulus sekolah dasar (SD) Wawan sudah mengadu nasib di Kota Surabaya.

Dia tak bisa melanjutkan jejang pendidikan ke bangku SMP lantaran himpitan ekonomi keluarga.

Di Kota Surabaya, dia bekerja di pabrik kerupuk saat usianya masih 10 tahun.

Kemudian, saat usianya beranjak remaja, dia merantau ke Kota Jakarta untuk bekerja menjadi kuli bangunan.

Setelah berkeluarga, pria asal Kabupaten Sragen itu pun merantau ke Kota Semarang menjadi kuli panggul di Pasar Karang Ayu, Semarang Barat.

Sejak tahun 2004 itu dia rela banting tulang demi menopang hidup istri dan ketiga anaknya di kampung halamannya di Desa Dari, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.

"Saya mulai kerja jadi kuli panggul sejak 2004 sampai sekarang. Karena cari kerjaan kan susah ya," kata Wawan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (14/3/2023).

Selain itu, Wawan meneruskan jejak sang ayah, Sisyanto (60) yang dulunya juga bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Langgar, Kota Semarang.

"Dulu Bapak saya juga kuli panggul. Kami dari keluarga enggak punya. Saudara-saudara juga banyak yang jadi kuli panggul, juga sempat kerja serabutan," ungkap dia.

Upah tak menentu

Upah Wawan menjadi kuli panggul tidak menentu setiap harinya. Mulai dari kisaran Rp 30.000 hingga Rp 100.000.

"Upahnya ya enggak pasti. Kalau lagi ramai yang datang ya banyak, kalau sepi ya jarang-jarang. Kadang dapat Rp 100.000, Rp 50.000, kadang juga pernah dapat Rp 30.000 sehari," ungkap dia.

Meski pekerjaan menjadi kuli panggul sangatlah berat, namun Wawan tak mengeluh dan tetap bekerja keras.

Walaupun hasilnya pas-pasan, dia bersyukur masih mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Dan yang terpenting, dia bisa makan dan membayar tempat kos selama merantau di Kota Semarang dari hasil jerih payah keringatnya sendiri.

"Rata-rata sebulan enggak tentu. Kalau kerja keras ya bisa sampai Rp 2,5 juta - Rp 3 juta, itu ya syukur. Bisa cukup untuk kebutuhan hidup istri dan 3 anak saya. Karena anak kan juga sekolah. Anak pertama kelas 1 SMA, anak kedua kelas 4 SD dan anak ketiga masih bayi umur 6 bulan," jelas dia.

Ganti barang yang pecah

Bagi Wawan, bekerja menjadi kuli panggul memiliki tantangan tersendiri.

Belum lagi, dia harus mengganti jika ada barang pelanggannya yang rusak atau pecah.

"Kalau barang yang diangkut ada yang rusak ya harus ganti. Waktu itu pernah angkut telur 10 kilogram di dalam peti kayu gitu pecah sampai 3-4 kilogram. Terus ganti rugi sekitar Rp 100.000. Pakai uang kas gitu ada sedikit-sedikit," ucap dia.

Kendati demikian, Wawan menikmati pekerjaannya sebagai kuli panggul karena memiliki banyak teman.

"Senangnya ya karena banyak teman jadi bisa guyon-guyon (bercanda), sudah seperti keluarga," kata dia.

Sejak setahun belakangan pekerjaannya juga cukup terbantu dengan adanya angkong untuk mengangkut barang.

"Sudah setahun ini pakai angkong seperti dorongan gitu sekali angkut bisa 5 karung beras. Biasanya kan manggul satu-satu harus bolak-balik. Tapi kan ada teman-teman lain. Engga sendirian. Jadi sekarang sehari paling banyak ya bisa 5-6 ton. Pernah sampai 10 ton," tutur dia.

Alih profesi saat pandemi

Wawan bercerita, dirinya begitu terpukul pada saat tejadi pandemi.

Sebab, dia terpaksa menganggur dan harus pulang kampung lantaran pasar di lockdown.

"Waktu pandemi saya pulang ke rumah sekitar setengah tahunan. Mau ke Semarang juga enggak bisa. Pasar juga kan sepi di-lockdown. Jadi enggak bisa ke mana-mana," ungkap dia.

Karena harus menanggung beban hidup keluarga, dia pun memutar otak supaya tetap bisa menyambung hidup.

Alhasil, dia sempat bekerja sebagai kuli bangunan.

"Saya sempat kerja jadi kuli bangunan, waktu itu di rumah tetangga ada yang bangun rumah terus saya ikut bantu. Setelah itu baru saya ke Semarang lagi," jelas dia.

Berobat biaya sendiri

Wawan menyadari, bekerja sebagai kuli panggul juga memiliki risiko tinggi.

Terlebih jika kelompoknya yang terdiri dari 20 buruh panggul ini ada yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja.

Sebagai tulang punggung keluarga, dia tentu tidak ingin menanggung risiko tersebut supaya bisa tetap menjemput rezeki.

Oleh sebab itu, dia pun segera mungkin pergi berobat jika terserang penyakit.

Dia mengaku, harus menanggung biaya pengobatan sendiri di pelayanan kesehatan.

Sebab, selama ini tidak ada perlindungan kesehatan bagi para kuli panggul.

"Enggak ada jaminan kesehatan sama sekali dari dulu sampai sekarang. Kalau sakit ya berobat sendiri. Biar cepat sembuh dan kerja cari duit lagi," ucap Wawan.

Dia pun berharap ada jaminan kesehatan atau ketenagakerjaan untuk meringankan beban para kuli panggul.

Perlindungan kesehatan sangat penting bagi keselamatan kuli panggul saat bekerja.

Mengingat hingga saat ini tenaga buruh panggul masih dibutuhkan masyarakat terutama di pasar tradisional.

"Saya berharap ada jaminan kesehatan ya. Karena kan jadi kuli panggul emang rekoso (berat). Pasti sering pegal badannya. Sedangkan yang bekerja jadi kuli panggul itu banyak karena masih banyak orang yang membutuhkan jasa kami," tuturnya.

Kuli panggul sangat dibutuhkan

Hingga saat ini, profesi kuli panggul tetap ada karena masih banyak yang membutuhkan tenaga mereka.

Para kuli panggul di Pasar Karang Ayu umunya dibagi menjadi beberapa kelompok dan bernaung dalam sebuah paguyuban.

Mereka yang berjumlah sekitar 50 orang ini terbagi menjadi tiga shift, yakni pagi, sore dan malam.

Pengelola Pasar Karang Ayu, Fajar Joko Purwanto mengatakan, sampai saat ini tenaga para kuli panggul masih sangat dibutuhkan bagi para pedagang dan pembeli di Pasar Karang Ayu.

"Kuli panggul memang masih relevan karena sangat dibutuhkan para pedagang dan pembeli. Mereka itu dibagi shift pagi, sore dan malam. Biasanya dibagi per kelompok ada sekitar 15-20 orang. Mereka bekerja rata-rata selama 8 jam. Total sekitar ada 50an orang," ungkap dia saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/3/2023).

Tak ada jaminan kesehatan

Para kuli panggul yang rela membantu mengangkat barang orang lain dilakukan demi sekadar upah untuk menopang hidupnya.

Namun, sayangnya tak ada perlindungan kesehatan ataupun jaminan keselamatan kerja bagi mereka.

"Itu mereka memang belum ada jaminan kesehatan apapun. Tapi memang ada iuran bagi yang terdaftar anggota paguyuban yang sewaktu-waktu bisa digunakan," jelas dia.

Menurut dia, sebenarnya ada juga fasilitas pengobatan gratis dari pemerintah untuk para kuli panggul.

Hanya saja fasilitas gratis tersebut khusus untuk kuli panggul yang berpenduduk di Kota Semarang.

"Itu untuk mereka yang berKTP di Semarang, jadi mereka harus mengurus pendaftaran ke Puskesmas setempat dulu, nanti bisa langsung di handle sama Dinas Kesehatan Kota," jelasnya.

Pentingnya peran para kuli panggul di tengah gempuran pasar modern ataupun digital, seharusnya ada perhatian dari sejumlah pihak.

"Karena khusus untuk kuli panggul memang belum ada bantuan apapun seperti sembako atapun jaminan kesehatan lainnya," kata Fajar.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/16/060100378/kisah-wawan-jadi-kuli-panggul-selama-19-tahun-tetap-bersyukur-meski-hasil

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke